Pencak silat adalah bentuk unik seni bela diri yang berakar dari budaya Melayu. Budaya ini terbentang luas meliputi Indonesia, Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Thailand Selatan dan daerah-daerah lain di mana penduduk setempat memiliki atas keturunan Melayu yang sama dan bertutur dalam rumpun bahasa Melayu.
Nama “pencak silat” sendiri disepakati oleh Ikatan Pencak Silat Indonesia atau IPSI, yang didirikan pada tahun 1948 di Solo, Indonesia dan selanjutnya diadopsi oleh Federasi Pencak Silat Internasional yang didirikan pada tahun 1980 oleh Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Brunei Darussalam sehingga sekarang dipakai oleh seluruh anggota yang tersebar di dunia. Lebih spesifiknya, nama ‘pencak silat’ adalah penggabungan nama dari dua akar kata yang dipakai dengan istilah-istilah turunannya di daerah-daerah di Indonesia dengan tujuan mempersatukan aliran-aliran dan perguruan-perguruan yang luar biasa banyaknya. Kata “pencak” dan variasi dialek seperti “penca” (Jawa Barat) dan “mancak” (Madura dan Bali) umumnya digunakan di Jawa, Madura, dan Bali, sedangkan istilah “silat” atau “silek” digunakan di Sumatera (bersama dengan istilah “gayuang“). Penamaan semacam ini dan banyak variasi lainnya masih ditemukan di daerah-daerah sampai hari ini.
Nomenklatur juga bervariasi pada tingkat regional. Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand Selatan menggunakan “silat” untuk merujuk ke jurus teknik seni bela diri dan “bersilat” untuk prakteknya. Nama lain, tergantung pada tempat asal atau jurus, termasuk “gayong,” “gayong Fatani,” “Lintan,” “Cekak,” dan “keletan.” Filipina juga menggunakan “pasilat” di samping istilah “silat.”
Kekayaan penyebutan ilmu bela diri ini merujuk pada keanekaragaman makna dan teknik yang sangat luas. Walaupun demikian, semua ini tetap mengacu pada sebuah pola tertentu yang bersifat multi-dimensi dan berasal dari warisan budaya yang khas Melayu. Pencak silat menggabungkan gerakan-gerakan olahraga dan jurus-jurus bela diri dengan unsur seni, serta teknik pernapasan dan kesadaran spiritual. Menurut IPSI, secara substansial pencak silat adalah suatu kesatuan dengan empat rupa –catur tunggal—seperti tercermin dalam gambar trisula pada lambang IPSI, di mana tiga bilah pisau trisula mewakili unsur seni, bela diri, dan olahraga, dan gagangnya mewakili unsur mental-spiritual.
Sebagai seni, pencak silat merupakan wujud kebudayaan dalam bentuk kaidah gerak dan irama, yang takluk pada keselarasan, keseimbangan, dan keserasian antara wiraga, wirama dan wirasa. Di beberapa daerah, jurus-jurus seni diiringi dengan tabuh iringan musik yang khas dan dipertujukan pada acara-acara sosial, seperti pesta panen, pernikahan, dan keramaian umum.
Sedangkan, sebagai bela diri, pencak silat dipertujukkan untuk memperkuat naluri manusia untuk membela diri terhadap berbagai ancaman dan bahaya. Untuk mencapai tujuan ini, taktik dan teknik yang dipergunakan oleh pesilat mengutamakan efektivitas dan menjamin keamanan fisik, jika perlu dengan mendahulukan serangan lawannya.
Begitupun sebagai olahraga, pencak silat mengutamakan keterampilan fisik agar mendapat kebugaran, ketangkasan, maupun prestasi olahraga dan daya tahan. Dengan berlatih, seorang pesilat berupaya meningkatkan kelincahan anggota tubuh dan kekuatan gerak sekaligus menambah semangat agar prestasi dalam pertandingan.
Sebaliknya, sebagai olah batin, pencak silat lebih menfokus pada membentuk sikap dan watak kepribadian sebagai seorang pesilat sesuai filosofi spiritual yang dianutnya. Hal ini menitikberatkan pada pengendalian gerakan fisik, kekuatan batin, dan ketaatan terhadap nilai pokok budi pekerti luhur.
Empat aspek ini menyatu dalam gerakan-gerakan khas pencak silat, yang terdiri dari beberapa komponen utama atau teknik dasar. Secara garis besar, kita dapat membedakan empat macam teknik dasar: sikap pasang, gerak langkah, serangan dan belaan. Dengan membentuk sikap pasang pesilat mengespresikan status siaga dan waspada, yang sewaktu-waktu dapat diubah untuk melaksanakan tindakan taktis tertentu. Sikap pasang ini, biasanya menggunakan kaki maupun tangan, dan dapat meliputi sikap berdiri, jongkok, duduk, atau berbaring.
Jika sikap pasang adalah bagian statis dari gerakan pencak silat, gerak langkah adalah bagian yang dinamis. Dengan menentukan arah, cara, dan pola taktis gerak, pesilat melangkah untuk kepentingan pembelaan atau serangan. Lebih khusus, upaya-upaya membela diri terdiri atas tindakan menghindar serangan dari seorang lawan (antara lain dengan teknis tangkisan, elakan dan lepasan) dan tindakan untuk menangkap, mengunci dan menggagalkan gerakan lawan. Sedangkan, kegiatan serangan mencoba menjatuhkan lawan dalam beberapa cara, seperti memukul, menendang, dan menbanting. Teknik-teknik membela diri maupun serang ini juga dapat menggunakan beberapa jenis senjata, seperti pisau, pedang, trisula, dan toya.
Pada saat teknik-teknik ini menyatu dalam sebuah kaidah yang unik tetap mempertahankan ciri-ciri khasnya. Secara paradoksal, kesatuan kaidah pencak silat justru terdiri dari inti yang sangat bervariasi, tergantung gerakan dan teknik dasar mana yang diutamakan dalam kombinasi tersebut. Keaneka-ragaman pencak silat memang tidak dapat disangkal oleh karena pencak silat diwarisi oleh para guru yang menggunakan kemampuan kreatif yang berbeda untuk menciptakan gayanya sesuai dengan ciri alam sekelilingnya dan karakteristik sosial-budaya penduduk setempat. Ajaran-ajaran ini sering pula diperbaruhi dan dimadaptasi oleh murid-muridnya. Sebagai hasil dari proses ciptaan ini, variasi di antara gaya-gaya pencak silat di daerah-daerah di Indonesia dan negara-negara tetangga sangat besar dan terdapat ratusan aliran, perguruan dan jurus-jurus. Dengan demikian pencak silat menjadi fenomena yang nilai budaya tinggi dan menarik untuk berlatih baupun mempelajarinya.