Membicarakan Oong Maryono berarti membicarakan pencak silat dalam bentuk budaya, bela diri, seni, sekaligus olahraga.
Buku Pencak Silat Merentang Waktu karya alm. Oong Maryono adalah buku ketujuh yang saya ulas sebagai bagian dari program Satu Bulan Satu Buku sejak Desember 2016. Melihat jumlah buku yang terulas, sebenarnya saya agak melewati target dan karenanya, saya mencoba mengerem dengan tidak selalu membuat ulasan setiap buku yang saya baca.
Pencak Silat Merentang Waktu saya peroleh dari salah satu anggota Forum Pecinta dan Pelestari Silat Tradisional Indonesia pada tahun 2008. Mendapatkan dan kemudian membaca buku cetakan ketiga setebal lebih dari 378 halaman ini ibarat mendapatkan curahan kekayaan akal budi bangsa Indonesia yang wujud ke muka publik melalui riset mengenai silat di Indonesia yang dilakukan alm. Oong Maryono.
Secara pribadi, saya tidak mengenal alm. Oong Maryono dengan baik. Saya pernah bertemu dan berbincang langsung dengan beliau hanya dua kali dan semuanya terjadi di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah. Di luar itu, komunikasi kami lebih sering terjadi melalui media sosial dan messenger. Meski demikian, hanya melalui pertemuan pertama pun saya sudah bisa merasakan kedalaman pengetahuan pencak silat yang tidak sekedar gerakan fisik, olahraga, atau pengetahuan budaya.
Dalam opini saya, alm. Oong Maryono mengetahui pencak silat dari kulit hingga ke sumsum tulang dan buku Pencak Silat Merentang Waktu adalah bukti valid pengetahuan tersebut. Buku ini mampu mengisahkan pencak silat secara jauh lebih lengkap karena sepanjang pengetahuan saya, informasi tertulis pencak silat secara mayoritas hanya buku-buku tipis atau stensilan yang menekankan hanya pada teknik fisik dan/atau spiritual. Sangat jarang catatan tertulis yang menceritakan konteks sosial budaya pencak silat. Buku Pencak Silat Merentang Waktu mampu merangkum semua hal tersebut dengan baik sesuai konteks.
Apa itu pencak silat?
Sejak halaman satu, saya langsung dihadapkan dengan informasi asal mula pencak silat ilmu bela diri masyarakat rumpun melayu. Penyebaran bela diri yang masih satu DNA dengan pencak silat ternyata ada di Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan beberapa pulau kecil yang berdekatan dengan negara-negara tersebut.
Istilah pencak silat pun sangat beraneka ragam sesuai dengan daerah, misal di Sumatera Barat ada istilah ‘silek’ dan ‘gayuang’; sedangkan di Jawa ada istilah ‘maempok’ dan ‘pencak’; di Madura dan Baewan ada istilah ‘mancak’, di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat ada istilah ‘mpaa Sila’; dan Bulungan, Kalimantan Timur ada istilah ‘bemancek’.
Di daerah-daerah tersebut, pencak silat berakar kuat dalam interaksi sosial dan kebudayaan masyarakat pedesaan, baik sebagai hiburan, ritual, maupun tradisi nenek moyang. Dalam interaksi sosial dan budaya, banyak mitos-mitos pencak silat dikisahkan dan semua mitos tersebut menjadikan perempuan sebagai peran utama dan pelopor pencak silat (halaman 35).
Perguruan pencak silat
Saat menceritakan perbedaan faham di antara perguruan pencak silat, alm. Oong Maryono melakukan pengelompokkan dan penamaan yang menarik, yaitu konservatif, moderat, progresif, dan rasional liberal. Perbedaan tersebut muncul karena ada perbedaan tujuan dan metode pelatihan.
Sebagai contoh, perguruan silat dengan faham konservatif tidak mengenal organisasi resmi, iuran bulanan, maupun pakaian seragam. Karena sifatnya yang informal, perguruan silat konservatif tidak tersebar luar dan murid-muridnya tinggal secara terkonsentrasi dekat dengan tempat tinggal sang guru. Lalu, kerahasiaan ilmu menjadi faktor esensial yang dianut perguruan silat konservatif sehingga usaha mengetahui dan mendokumentasikan ilmu silat dari perguruan konservatif menjadi hal yang sulit dilakukan.
Berbeda dengan perguruan konservatif, perguruan silat moderat bersedia gerakan dan teknik silat di muka publik, antara lain dalam bentuk seni seperti ludruk di Jawa Timur dan ketoprak di Jawa Tengah. Namun, jika perguruan moderat diminta untuk menunjukkan ilmunya dengan mengikuti pertandingan silat resmi, mereka cenderung menolak dan hal ini serupa dengan perguruan konservatif.
Perguruan silat progresif mulai muncul awal abad 20 dan berkembang dengan pesat pasca 1930. Secara umum, perguruan progresif memodifikasi jurus baku yang sudah ada dan disampaikan secara turun-temurun. Pembaruan tersebut dilakukan perguruan progresif dengan tujuan mengembangkan pencak silat sebagai ilmu bela diri dan kesegaran jasmani, sekaligus ilmu olahraga prestasi. Karenanya, mereka berpendapat bahwa pencak silat dapat dan harus dipertandingkan layaknya beladiri populer dari luar negeri.
Terakhir, perguruan silat dengan faham rasional-liberal mulai muncul per tahun 1950. Kelompok perguruan silat rasional-liberal berasal dari golongan masyarakat menengah atas, berani ‘menyimpang’ dari pakem, dan memperbarui inti pencak silat dengan keyakinan bahwa bela diri rumpun melayu ini bukan bela diri statis. Maka, perguruan rasional liberal menghargai keterbukaan dan menolak ketertutupan seperti yang dilakukan kelompok perguruan konservatif.
Lain-lain
Selain hal-hal yang sudah saya jabarkan, masih sangat banyak informasi lainnya yang disampaikan alm. Oong Maryono dalam Pencak Silat Merentang Waktu, antara lain menceritakan awal mula penggunaan kata ‘pencak silat’ secara nasional dan resmi, asal mula pendirian Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), sejarah silat tanding termasuk kisah-kisah alm. Oong Maryono saat masih aktif dalam silat tanding yang kental dengan ‘pegangan’ dan jimat serta cenderung brutal. Dapatkan bukunya dan selamat membaca!