Doktor HC Buat O’ong Maryono di Sorga

Doktor Hc Buat O’ong Maryono di Sorga

Siapakah O’ong Maryono? Sejumlah tokoh negeri ini menyempatkan diri hadir dalam acara peringatan satu tahun kematiannya (Haul) yang dilaksanakan di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Minggu siang (22/3). Lelaki kelahiran Bondowoso 28 Juli 1953 itu bukan hanya guru pencak silat dan juara silat kelas internasional, tetapi seorang “pendidik sejati, ilmuwan dan intelektual alamiah meski bukan sarjana bergelar,” kata Alan Feinstein. “Saya harap di sorga sana dia mendapatkan Doktor Honoris Causa karena dia layak menerimanya, meski di sorga embel-embel seperti itu tidak diperlukan lagi,” ujar peneliti budaya Jawa itu.

Dalam acara yang dipandu Ngatawi Zastrouw itu nampak hadir ibu Shinta Nuriyah (isteri alm Gus Dur), Prof. Edi Sedyawati, Butet Kertarajasa, Nano dan Ratna Riantiarno, Nursyahbandani Katjasungkana, sesepuh silat Eddy H. Nalapraya, staf khusus Menpora Bambang Bre, serta para pendekar silat dari berbagai daerah. “Saya merasa sedih sekaligus bangga, bahwa hari ini begitu banyak orang yang hadir dalam acara ini,” ujar Rosalia Maria Emanuela Sciortino, PhD, MA, isteri almarhum O’ong, yang akrab dipanggil Lia itu.

Pada kesempatan pertama, Ibu Sinta Nuriyah memberikan kesaksian bahwa almarhum O’ong dan juga isterinya, Lia Sciortino, adalah pasangan serasi yang sangat menghargai persahabatan dan persaudaraan. Dimana ada O’ong, disitu ada Lia. Begitu pula sebaliknya. “Mereka bagaikan pasangan Mimi dan Mintuno,” katanya.

Diceritakan saat Gus Dur berobat di Bangkok, O’ong dan Lia datang membezuknya. Memberikan semangat dan berdialog. Bahkan ketika Gus Dur sudah kembali ke Jakarta, padahal proses pengobatan belum selesai, mereka berdua tidak jemu-jemunya membujuk Gus Dur agar bersedia meneruskan pengobatan di Bangkok. Tiap sore O’ong dan Lia datang ke rumah. Bahkan mendatangkan sejumlah mahasiswa untuk berdialog dengan Gus Dur. Sebab mereka tahu Gus Dur suka dialog. Sampai akhirnya Gus Dur bersedia meneruskan pengobatan di Bangkok.

Bagi Ibu Shinta, “kecintaan O’ong sedemikian rupa kepada Gus Dur dan keluarga, sehingga sempat berwasiat agar suatu saat dimakamkan di dekat rumah Gus Dur. Maka wasiat itupun dilaksanakan tahun lalu, ketika O’ong meninggal dunia di Singapura, 20 Maret 2013, kemudian dimakamkan di pemakaman Kampung Kandang, Ciganjur. “Semoga Haul ini menjadikan tali persabatan mereka yang tulus dan ikhlas tetap terjalin,” ujar Ibu Sinta, yang menjadikan Lia Sciortino mengusap air matanya.

Kekagumannya pada sosok Gus Dur dalam sikap pluralitas ini juga dikuatkan oleh Alan Feinstein, yang ditunjukkan dengan toleransi O’ong, dimana dia terpengaruh oleh isterinya sendiri, bahwa perbedaan bangsa, agama dan bahasa, tidak menjadi halangan bagi pasangan luar biasa itu.
Maka seorang pendekar dari KPS Nusantara dari Muntilan memberi kesaksian singkat, “Bahwa silat adalah silaturrahmi, itulah amanat O’ong yang kami pegang teguh.”

Sementara bagi Soeprapto dari Paseduluran Angkringan Yogyakarta, O’ong Maryono adalah murid berprestasi, tidak hanya mikir diri sendiri. Dia rajin menulis, meneliti, dan menularkan ilmunya kepada orang lain. Almahum tidak ingin kalangan silat dikotak-kotakkan oleh IPSI atau Non-IPSI. Itu sebabnya didirikan Paseduluran Angkringan Yogyakarta, karena almarhum melewat batas-batas pengkotakan.

Sebagai Ketua Dewan Guru, Bambang Anggono mengaku pernah kuwalahan karena hampir setiap hari O’ong mengajaknya latihan berkelahi. “Saya bilang, ilmu saya sudah habis, bergurulah pada Hadimulyo,” kata Bambang. Dan almarhum memang tipe orang yang sangat menghormati gurunya. Maka berlakulah doktrin bahwa semua murid perguruan harus menghormati guru dan orangtuanya serta bersedia mengembangkan pencak silat.

Kenangan yang diingat Bambang, bahwa O’ong memang “nakal” sehingga pernah diskors oleh IPSI tahun 1985-1986. Toh Bambang bisa memahami karena apa yang dilakukan O’ong itu untuk membela dan demi kemajuan perguruannya. Maka Bambang dan Hadimulyo menyarankan agar O’ong bertanding Taekwondo saja. Dan ternyata O’ong malah berhasil menjadi juara nasional taekwondo.
Sudah tidak terhitung lagi kejuaraan yang berhasil direbut oleh O’ong Maryono, sebagaimana dibacakan oleh sesepuh Pencak Silat, Eddy Nalapraya. Namun satu hal yang sangat mengagumkan dari seorang O’ong adalah bagaimana memperkenalkan pencak silat ke seluruh dunia. Bahkan, kejuaraan dunia pencak silat ketiga diselenggarakan di Wina, Austria. Itu juga karena jasa O’ong. “Dia berhasil memanusiakan manusia dengan pencak silat,” ujar mantan ketua umum IPSI itu.

Banyak hal yang bisa dikenang dari O’ong Maryono. Sebagaimana disampaikan Ngatawi Zastrouw, almarhum telah memperkenalkan bahwa silat tidak hanya berkelahi tapi juga merupakan ekspresi seni. “Dia tidak menentang matahari, tapi membawa payung untuk melindungi diri sendiri sambil menikmati matahari,” ujar mantan orang dekat Gus Dur ini.

Dalam sebuah catatan tertulis yang sudah dipersiapkan, Alan Feinstein bercerita panjang lebar mengenai sosok O’ong Maryono ini (lain keempatan teksnya akan dimuat di sini, hn). Menurut Alan, Mas O’ong seorang realistis dan seorang practitioner dan bukan seorang yang suka mengulang-ulang slogan-slogan kosong seperti “melestarikan khasanah budaya kita” dsb.. dsb… Dia sungguh pandai dalam hal cross cultural, menjadi duta silat di berbagai negara, dan jarang sekali ada orang secakap itu dalam hal-hal budaya.

“Saya harap Mas O’ong bisa menjadi tauladan untuk kita semua, khususnya bagi yang berkecimpung dalam bidang budaya, bagaimana menghadapi tantangan dan perubahan jaman terhadap bentuk budaya yang kaya sejarah dan sarat dengan nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial. Sebuah bentuk budaya seperti silat akan mudah labil dan makin tergeser kalau tidak dijaga dan dipelihara dengan baik oleh para guru dan muridnya. Itulah yang saya baca dari teman saya O’ong Maryono,” tukas Alan Feinstein.

Dan yang merupakan warisan O’ong yang sangat monumental adalah sebuah buku berjudul “Pencak Silat Merentang Waktu” yang terbit tahun 1999, cetak ulang dengan revisi tahun 2000, namun hingga sepuluh tahun kemudian belum ada buku serupa yang ditulis orang lagi. “Itulah yang juga meresahkan Mas O’ong,” kata Lia Sciortino.

Maka sebagai bentuk realisasi dari cita-cita O’ong Maryono untuk meneruskan publikasi, penelitian dan penerbitan mengenai pencak silat, Lia dan teman-temannya membuat program hibah kecil bernama “O’ong Maryono Pencak Silat Award”. Lantas dibentuklah lembaga bernama “Indonesia untuk Kemanusiaan – IKA” yang memberi kesempatan bagi siapapun untuk mengajukan dana hibah bagi program penelitian, penerbitan dan publikasi terkait pencak silat. “Sekaranglah sya kuncurkan program award ini, mohon disebarluaskan demi cita-cita suami saya yang sangat tercinta,” ujar Lia penuh haru.

Dalam acara Haul yang berlangsung semarak itu, dipungkasi dengan pertunjukan monolog Butet Kertarajasa, yang pernah disampaikan dalam acara mengenang 100 Hari O’ong Maryono. Salinan monolog ini akan disampaikan dalam kesempatan lain. (*)