O’ong, Lia dan Pencak Silat

10_01

Teman-teman yang sangat saya hormati. Ketika saya diminta mas Yossi untuk bicara di sini sungguh saya merasa tidak mungkin melakukannya dalam keadaan yang sangat berduka atas meninggalnya suami ku tercinta, O’ong Maryono. Namun dengan berjalannya waktu dan mengamati kecintaan komunitas pencak silat terhadap Mas O’ong dan karyanya, saya merasa saya harus menguatkan diri dan berbicara di sini sebagai tanda terima kasih pada semua murid, pesilat dan pendekar yang melanjutkan impiannya  dalam kebersamaan. Tadi pagi ketika saya baca komentar saudara Khas Adja di FB yang menyatakan bahwa beliau “yakin Mas O’ong bisa melihat perhelatan akbar Pawai Festival Pencak Malioboro bahkan mungkin hadir disana”, saya tahu bahwa pilihanku hadir di sini pasti disetujui oleh Mas O’ong.

Saya sangat terharu datang ke Yogya karena memang ini kota di mana kami jatuh cinta pada tahun 1989. Pada saat itu Mas O’ong main di film Tutur Tinular. Pertemuan pertama dengan Mas O’ong dan silat tidak menyenangkan, karena pada saat saya pulang ke wisma untuk istirahat dari penelitian di kecamatan Salam, Muntilan,  ada sekelompok orang, para laki-laki besar yang latihan (dan pamer) pencak silat pada jam 5 pagi di depan jendela saya, sampai saya mengeluh pada pemilik hotel. Namun demikian mas O’ong memang jago dan pintar merayu dan berubah taktik, setelah dia menyelidiki latar belakang saya, mulailah dia  baca buku-buku budaya Jawa di depan pintunya… sampai ya “guna-gunanya” berhasil.

Sejak  saat itu, O’ong, saya dan pencak silat jadi satu, dan pada saat saya menjadi istrinya, pencak silat lah jadi ibarat istri kedua.  Namun kami tidak ribut, paling cek-cok, tentang hal itu karena saya tahu betul bahwa jika ribut mungkin saya yang akan kalah… Walaupun ini bercanda, namun suatu kenyataan bahwa selama 24 tahun bersama hubungan kami menjadi satu relasi yang didasari atas saling mendukung walaupun berkarya di bidang yang sangat beda.

Di mana pun kami berada kegiatan Mas O’ong selalu di dunia pencak silat, walaupun jenis kegiatannya bisa berubah. Bukan rahasia bahwa sejarah Mas O’ong di dunia silat dengan teknik yang dipelajari bersama kakek, mulai dari “berkelahi”. Teman-teman di Bondowoso dari perguruan pertama dia, Elang Putih, yang malam ini hadir di sini, maupun yang dari KPS Nusantara yang mengenal dia, seperti Mas Bambang,  ketika pindah ke Jakarta pada tahun 1973 pasti bisa banyak cerita mengenai aksi mas O’ong di dalam maupun di luar arena. Kepintaran dan keberanian berkelahi ini yang akhirnya menjadi kehebatannya dalam bidang olah raga, sampai dia jadi menjadi juara pada tingkat nasional dan internasional, termasuk juara SEA Games dan 2 kali juara dunia.

Sebagai istri saya sebetulnya senang saya hanya ketemu dia setelah karier olahraganya selesai. Sama sekali bukan hanya karena peminat perempuan terhadap beliau agak berkurang, namun juga karena jika harus menonton pertandingan pasti saya akan sering merasa khawatir. Lihat dia sparring saja sudah menjadi jantungan dan sering kasihan dengan murid karena Mas O’ong tetap lincah dan pintar strategi walaupun sudah berumur. Begitu besar semangat dan kecintaannya terhadap pencak silat olah raga sehingga saya beberapa kali usul agar dia membuat pertandingan untuk pesilat lansia dan turun lagi bertanding.

Untung, kecintaan O’ong pada pencak silat bukan hanya pada bertanding, dan dia mampu mengapresiasi semua aspek. Selalu dia bilang bahwa kelebihan pencak silat dibandingan martial arts lain justru karena ada seni, aspek spiritual, beladiri, hiburan dan budaya. Dengan memahami semua aspek ini dia bisa beradaptasi dengan keadaan dan kebutuhan yang berbeda-beda selama kariernya. Ketika dia memutuskankan untuk pulang dengan saya ke Amsterdam, dia berhasil masuk sebagai pegawai kerajaan di bidang olah raga, mengajar anak-anak yang sulit, yang drop out dari sekolah,  agar bisa belajar disiplin diri. Dia berhasil menarik perhatian dan mendapatkan komitmen mereka dengan cara mengajar yang dilakukan dengan banyak bercanda. Selain itu, dia buka KPS Nusantara di Belanda. Walaupun saya jadi ketua pertama dari yayasan yang didirikannya, sebagai murid bisa dianggap gagal karena sikap yang terlalu “setara” dengan suamiku yang mungkin kurang pas dalam hubungan murid-guru. Apalagi murid-murid lain, yang kebanyakan Indo-Belanda sangat patuh padanya, sampai cium tangan segala.

Pulang ke Indonesia, O’ong menfokus pada penelitian karena merasa bahwa buku-buku mengenai pencak silat sangat kurang apalagi yang ditulis orang Indonesia sendiri. Dia melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok untuk mencari informasi, sering pula saya menemaninya dia jika perkerjaan bisa dikombinasikan. Sering kami naik mobil dan Mas O’ong stir sendiri, baik  ke Yogya, Surabaya, bahkan sampai Bali dan Lombok. Selain mewawancarai guru-guru dan memotret gerakan-gerakan yang akhirnya disusun dan ditulis menjadi buku Pencak Silat Merentang Waktu (yang diterjemahan pula dalam bahasa Inggris dengan judul “Pencak Silat in the Indonesian Archipelago”), kami mengoleksi lukisan kaca dan kerajinan khas Indonesia yang kami berdua sangat minati. Mungkin teman-teman belum tahu bahwa O’ong bersama saya menyumbang 60 lukisan khas Indonesia (dan banyak dari Yogyakarta) ke museum Asia-tenggara di Vietnam agar budaya Indonesia dihargai di mana-mana.

Sesudah meninggalkan Indonesia pada tahun 1998, O’ong menjadi pelatih internasional untuk tim nasional di Filipina dan Thailand (pernah juga sebelum kenal saya dia menjadi pelatih internasional di Brunei), maupun bantu Persilat dalam perhelatan silat regional. Juga dia membuka sekolah KPS Nusantara di berbagai tempat termasuk di Thailand dan Itali yang perwakilannya juga ada di sini.

Selain dengan melatih dia meneruskan misinya mempromosikan oencak silat dengan FB. Ternyata Mas O’ong bisa menguasai media social dengan gaya tersendiri dan berhasil mendapatkan berates-ratus komen pada foto-foto yang dia pasang dengan kalimat yang merangsang diskusi. Dia sangat terhibur jika teman-teman berapi-api berdiskusi, sampai saya bercanda bahwa dia jago bersilat lidah.

Walaupun Mas O’ong terlalu mandiri dan dengan cara bercanda saya sebut “kepala batu” untuk diakui oleh organisasi formal, dan harus jalan sendiri dengan pesona khas dia, ternyata dia sangat berhasil membuat gerakan pencak silat yang didasari atas semangat, komitmen dan inklusivitas.

Sama dengan nilai yang ada dalam perkawinan kami di mana kami berdua bisa menjadi “garwa: sigarane nyawa” walaupun kami berbeda latar belakang sosial, negara maupun agama, Mas O’ong selain mengajar teori dan teknik silat juga menyebar nilai-nilai pluralism, dengan menggangap pencak silat adalah untuk semua, bahkan pencak silat bisa menjadi alat untuk menyatukan perbedaan. Contohnya,  di Thailand dia berhasil menetralisir kecurigaan di antara murid Muslim dan Buddha sehingga mereka mau berlatih bersama dan mulai saling memaham dan menghargai.

Begitu juga dia rajin mempromosikan nilai kesetaraan jender, dan sering berdiskusi panjang lebar di FB bahwa perempuan punya hak belajar pencak silat dan partipasinya tidak bisa dibatasi karena dari dulu banyak tokoh perempuan, termasuk Ibu Enny yang jadi salah satu idola dia.

Yang lebih penting lagi, dalam melawan kanker usus buntu yang telah menyebar selama 1 tahun dan 3 bulan, adalah pencak silat yang memberi dia kekuatan. Pada saat kemo agresif dijalankan, kami berdua, kadang-kadang dengan teman yang datang bezoek, setiap pagi sebelum matahari terbit, berlatih jurus pernafasan KPS Nusantara dari gurunya Bapak Hadimulyo. Walaupun badan mulai capek dengan segala pengobatan dia masih bisa dan sangat bersemangat dan bahkan sampai bulan Oktober 2012 masih melakukan ujan naik tingkat di Thailand. Mas O’ong senang sekali banting-banting murid-murid sampai saya ikut “jaga” karena sangat khawatir dengan kondisinya. Namun pada saat berlatih ya dia lupa semuanya dan sangat menikmati.

Bulan Januari 2013 kami ke Yogyakarta untuk menghadiri acara foto pencak silat di Malioboro ini dan bersama teman2 mendirikan yayasan Lembaga Pengembangan dan Pelestarian Budaya Indonesia untuk mempromosikan pencak silat. Ini walaupun pada saat itu mas O’ong mulai merasakan sakit di perut, tanda kanker tidak henti. Lebih mengharukan lagi sebelum masuk rumah sakit terakhir kali, dia minta memberikan sumbangan untuk festival yang sangat ingin dia hadiri. Dia minta Mas Yossy and Mas Arif untuk mempersiapkan video untuk mempromosikan festival ini di luar negeri. Kegiatan terakhir dia di FB pada pagi hari sebelum masuk rumah sakit adalah memasang video festival tahun pertama, yang ketika itu ia  tidak bisa hadir karena kemo, disertai dengan undangan untuk pesilat asing agar “join us at the Malioboro Pencak Festival”. Dia memang salah satu pencipta Festival , pertama punya ide untuk menghidupkan pencak silat di Yogyakarta sebagai pusat pencak silat masa lalu dengan cara pawai, dan bersama Yossi dan teman lain selalu berdiskusi bagaimana realisir ide itu. Namun Tuhan tidak memperbolehkan dia hadiri acara impiannya, karena pertama kali dia harus menjalani pengobatan kemo dan kedua kali sudah di pelukan Tuhan. Kehadiran saya hari ini di sini sebagai wakilnya untuk mewujudkan rencana kehadiran suami saya.

Di mata saya O’ong bukanlah pendekar di dunia silat namun pendekar dalam hidup. Selama hidup dia belajar dari pengalaman, mampu berubah dan berusaha melakukan kontrol untuk memperbaiki diri sendiri, karena dia percaya yang paling penting bukan menang di arena namun menang melawan diri sendiri. Pencak silat untuk dia adalah “sense of power”, inti kehidupan.

Dalam saat sedih dan rindu ketawa, bercanda, maupun berdebat, marah dan frustrasi dengan Mas O’ong seperti yang biasa dialami oleh semua pasangan, saya senang membayangkan Mas O’ong tetap berbincang tentang silat dan bersilat dengan pendekar-pendekar lain di alam yang berbeda. Saya juga mencari kekuatan dalam semua karya yang ditinggalkannya yang nampak dengan sangat jelas sesudah kematiannya. Saya yakin Mas O’ong tetap hidup dalam murid-murid, teman pesilat dan siapa saja yang tersentuh oleh dedikasinya pada pencak silat dan mereka akan tetap berusaha mempromosikan pencak silat. Saya yakin dia hidup dalam hati semua orang yang meneliti dan menulis pencak silat dan juga dalam hati semua yang mempraktekkan pencak silat di manapun mereka berada. Saya yakin dia hidup dalam festival ini melalui realisasi ide-ide yang dia lontarkan bersama teman-temannya. Oleh karena itu saya sangat berterima kasih pada anda semua yang telah meluangkan waktu untuk berkumpul di sini dan yang kelak di kemudian hari akan mentransformasikan mimpi mas O’ong dan teman-teman sevisi menjadi nyata. “Always with Us” Mas O’ong!

Malioboro Pencak Festival