(Refleksi mengenang O’ong Sumaryono secara guyon, dibacakan pada peringatan 100 hari dan setahun wafatnya)
Setiap terkenang Mas O’ong Sumaryono, saya selalu terkenang jiwa seorang pendekar. Jiwa seorang pendekar itulah, yang kini sulit kita temukan pada para pemimpin kita hari ini.
Kita mengenal banyak nama pendekar. Seperti Si Jampang, Si Pitung yang memiliki jurus-jurus silat. Ada banyak nama jurus-jurus yang hebat. Dulu kita mengenal jurus Cimande…. Ada juga jurus Cibitung…. Jurus Cikotok… Namun sialnya sekarang semua jurus-jurus yang menandai identitas lokal itu seperti tenggelam oleh satu jurus yang sangat hebat yang dianut para politikus kita: Jurus Cikeas…
Dalam ilmu bela diri, ada istilah tingkatan kependekaran yang ditandai dengan “sabuk”. Ada sabuk putih, sabuk merah, sabuk hitam. Sekarang orang lebih mengenal “sabuk pengaman”. Lebih dikenal lagi, “sarung pengaman”.
Dalam ilmu beladiri semacam karate, kempo dan sebangsanaya, juga ada tingkatan yang disebut “Dan”… Biasanya, pesilat “Dan Satu” akan kalah melawan pesilat “Dan Dua”…. Pesilat “Dan Dua” akan kalah melawan pesilat “Dan Tiga”…. Nah, di zaman Orde Baru, “Dan Tiga” pasti kalah melawan “Danramil”…
Tapi sekarang ini “Dan Tiga” bahkan “Danramil” pun, akan kalah melawan “Dan Kawan-kawan”… karna sekarang orang lebih suka main keroyokan… Bahkan politisi kita pun lebih suka keroyokan… sampai-sampai melakukan korupsi pun dilakukan dengan cara keroyokan…kalau istilah syariahnya: korupsi berjamaah…
Inilah ironi kita. Nyaris tidak ada politisi kita yang berani muncul sebagai pendekar… Karna memang jarang sekali ada politisi kita yang memiliki jiwa pendekar… Pendekar bukanlah orang yang sembunyi dalam kerumunan. Pendekar ialah mereka yang berani menanggung akibat paling buruk dan paling pahit, meski semua itu harus ditanggung sendirian.
Saya tertarik merefleksikan perjalanan hidup kependekaran Mas O’ong Sumaryono berkaitan dengan situasi politik kita hari ini. Sepertinya memang ada hal yang menarik antara dunia persilatan dan dunia perpolitikan.
Dalam cerita-cerita silat karangan Asmaran S Kho Ping Ho, kita akan bertemu dengan bermacam nama partai silat. Ada Partai To Liong To. Ada Partai Pengemis Sakti. Ada juga nama-nama partai yang diambil dari nama binatang. Ada Partai Kera Sakti. Ada Partai Naga Sakti, Partai Walet Merah, Partai Harimau Lapar, Partai Gagak Hitam…Yang menarik, ternyata ada satu nama binatang yang tidak pernah digunakan sebagai nama partai di dunia persilatan. Yakni: Sapi!!! Barangkali karna sapi memang lebih cocok dipakai sebagai nama partai politik…PKS – Partai Kanuragan Sapi. Bahkan saking populernya sapi di ranah politik, ungkapan bijak dari khasanah Jawa “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” sekarang telah berubah menjadi “Sapi ing pamrih, rame ing garwo.”
Kecintaan Mas O’ong pada dunia silat, telah menempatkannya sebagai seorang pendekar. Soal pendekar ini, saya rasa sangat relevan dengan situasi hari ini. Ada yang guyon, kalau “PENDEKAR” itu itu akronim “pendek dan kekar”… Tapi PENDEKAR juga bisa berarti “pemimpin dengan karakter”… Karna seorang pemimpin ibarat seorang pendekar yang mesti memiliki karakter yang kuat… kalau kata dalam bahasa sekarang, pemimpin itu tidak boleh alay… Kita tidak menginginkan ada pemimpin yang lebay…yang dikit-dikit curhat, dikit-dikit prihatin… pemimpin yang lebih suka bertemu pesohor sepakbola dari luar negeri, ketimbang bertemu dengan orang-orang Syiah yang terusir dari Sampang Madura.
Kalau kata Mas O’on, ibarat pendekar, seorang pemimpin itu harus berani menghadapi masalah. Pertempuran sejati seorang pendekar adalah berani bertarung dengan masalah dalam batinnya. Pendekar bukanlah sekedar kemampuan mengalahkan orang lain, tetapi yang lebih penting mengalahkan ego diri sendiri.
Saya jadi ingat kata-kara Rendra. Dalam dunia persuratan atau penulisan tak ada pendekar nomer satu. Dalam dunia persilatan, tak ada pendekar nomer dua. Karna pendekar nomer dua adalah orang yang kalah dalam pertarungan. Dulu para pendekar memang selalu bertarung memperebutkan menjadi nomer 1. Kalau sekarang para politikus berebut menjadi RI 1, meski fakta politis hari ini mengisyaratkan mereka yang menyangka dirinya pendekar hanya berebut untuk menjadi RI 2…
Tapi Mas O’ong menunjukkan jalan kependekaran yang lain, yang tidak sekedar ingin menjadi nomer satu. Barangkali karna dunia persilatan memang sudah berubah,… tak ada lagi pertarungan yang berdarah-darah. Yang ada adalah saling tukar ilmu dan jurus, untuk menyempurnakan ilmu silatnya. Itulah yang diyakini dan dikembangkan Mas O’ong ketika mempelajari ilmu silat.
Ilmu silat, bagi Mas Oong adalah proses belajar, proses berdialog. Mempelajari ilmu silat adalah mempelajari hidup, yang mau menerima gerakan yang berbeda, jurus yang berbeda. Mas O’ong pernah bilang dengan bercanda…, pesilat yang baik adalah pesilat yang mau memahami semua jurus. Dari jurus Macan Kumbang, jurus Cimande… sampai jurusan Cililitan…
Dengan mempelajari semua jurus itu, sebenarnya kita belajar memahami perbedaan. Itulah yang dipraktekkan Mas O’ong dalam kehidupannya. Misalkan dalam hubungannya dengan Mbak Rosalia, isteri yang dicintainya. Mereka berbeda latar budayanya, beda negeri asalnya, beda warna kulitnya bahkan beda agamanya,…tapi tetap aman sentosa hidup rukun sampai akhir hayatnya.
Dalam hidupnya, Mas Oong sudah benar-benar menjunjung tinggi dan mempraktekkan wacana pluralisme dan toleransi…. tanpa harus mendapatkan award dari lembaga luar negeri.
Karna itu, mengenang Mas O’ong sesungguhnya juga mengenang seorang pendekar yang mau menerima orang lain. Mas Oong adalah pendekar yang mewarisi kita keteladanan sikap untuk bersikap toleran dengan yang lain, menghormati yang berbeda… tidak menindas yang minoritas…
Dengan kepribadian dan sikapnya itulah, Mas O’ong telah menjadi pendekar yang tak pernah mati, dalam hati kita. Atau seperti puisi yang ditulis oleh seorang pesilat dari Filipina, yang dipersembahkan kepada Mas O’ong:
Ia masih bergerak bersama kita, dan berada di tengah-tengah kita
Saat ini… ketika kita mengenang Mas Oong… di luar sana, di Sampang, ada orang-orang yang terusir karna keyakinannya… Ada orang-orang yang ditindas karena keyakinannya…. Masih ada kaum yang terusir dari rumah ibadahnya…
Saya yakin dengan semangat kependekaran dan kemanusiaan yang diwariskan Mas O’ong kepada kita, kita tidak akan membiarkan orang-orang yang yang ditindas karena keyakinannya itu sendirian…
Kita akan menjadi pendekar-pendekar, yang mau membela mereka…