Dibacakan pada Haul Pertama Guru O’ong Maryono dan Peluncuran O’ong Maryono Pencak Silat Awards pada tgl 22 Maret 2014, di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini, Jakarta]
Teman saya, Ibu Rosalia Sciortino-Sumaryono; bapak dan ibu sekalian yang saya hormati:
Pertama-tama saya ucapkan terimakasih kepada Ibu Lia dan panitia Haul Pertama Guru O’ong Maryono, yang memberikan kesempatan untuk mengutarakan sepatah kata tentang kawan sejati saya, almarhum saudara O’ong Maryono (Sumaryono), pada acara ini. Saya diminta memberikan refleksi tentang pencak silat sebagai nilai budaya dan pemaparan visi Guru O’ong Maryono.
Saya bukan pesilat, pendekar, ataupun ahli pencak silat. Tetapi saya pengamat, pencinta, dan peneliti budaya Indonesia, terutama budaya Jawa, dan pernah mengelola bantuan dana dari Jakarta Office, Ford Foundation tahun 1980-1990an di bidang budaya dan pendidikan. Saya menerima undangan untuk berbagi pikiran saya tentang Guru O’ong—yang lebih baik saya panggil “Mas O’ong” di sini—berdasarkan rasa tresno dan rasa hormat pada almarhum dan berdasarkan 40-an tahun ketertarikan saya pada kebudayaan Indonesia. Semoga Anda sekalian—dan mas O’ong di surga—sudilah memaafkan saya atas kenekadan membicarakan hal-hal yang bukan secara spesifik dalam keahlian saya.
Walaupun saya bukan muridnya mas O’ong, saya banyak belajar dari dia sejak pertama kali kami kenalan kira-kira awal tahun 1990-an. Mas O’ong senang sekali membicarakan masalah pencak silat. Sebagai orang awam mengenai pencak silat dan sangat tertarik pada kebudayaan Indonesia, saya sering melontarkan pertanyaan macam-macam tentang sejarah dan praktek silat berdasarkan pengalaman mas O’ong. Dia tidak lelah menjawab dan menceritakan panjang lebar tentang pengalaman yang sangat kaya dan mendalam itu. (Mas O’ong dan saya juga pengamat bahasa dan senang main plesedan bahasa-bahasa asing: dia menguasai beberapa bahasa asing dan suka mencampur-adukkannya.)
Pada waktu saya baru kenal mas O’ong,dia sedang meneruskan proyek penelitiannya tentang perkembangan pencak silat di Indonesia yang kemudian pada tahun 1998 diterbitkan dalam buku berjudul Pencak Silat Merentang Waktu, yang oleh Henri Chambert-Loir dalam sambutannya disebutkan “tanpa tandingan … bersifat ensiklopedis … sangat menarik dan berbobot pula.” (Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Pencak Silat in the Indonesian Archipelago.) Seperti Chambert-Loir menulis, walaupun mas O’ong itu bukan akademisi, dia sangat mampu menghasilkan buku hasil penelitian tentang seluruh aspek pencak silat di Nusantara: sangkut pautnya dengan olah raga, dengan seni, dengan kehidupan rohani, dengan pendidikan, dan dengan kesatuan masyarakat.
Saya ingin membicarakan sebentar tentang pencak silat sebagai “nilai budaya,” seperti dalam judul yang diberikan pada saya, dengan merujuk pada karya tertulis mas O’ong maupun pada apa yang saya dengar dari beliau langsung selama bertahun-tahun.
Pencak silat tersebar di seluruh Nusantara dan semenanjung Melayu; malah dalam beberapa dasawarsa belakangan ini sudah tersebar ke luar Nusantara berkat usaha guru-guru silat seperti terutama mas O’ong itu sendiri. Pencak silat boleh dikatakan sebuah seni bela diri (martial art) yang khas Indonesia (dan Melayu), maka sesuatu yang mestinya membuat orang-orang Indonesia bangga dan mendapat perhatian untuk dipelihara. Pencak silat tidak terbatas pada asal-usulnya sebagai praktek bela diri saja, tetapi juga menyangkut berbagai aspek rohani, olah raga, seni, dan sosial. Maka boleh disebut sebuah bentuk budaya—atau dalam jargon “industri kreatif,” sebuah “aset budaya”— dalam arti seluas-luasnya kata “budaya” itu. Yaitu, sebuah tradisi yang secara turun-temurun diajarkan oleh pendekar pada muridnya, dan ilmunya disimpan dalam badan dan benak para guru dan muridnya itu dan dihargai setinggi-tingginya. Dalam kata lain, sebuah tradisi lisan diantara sekian banyak tradisi lisan di bumi nusantara ini. Dan seperti tradisi-tradisi lisan yang lain di Indonesia, pencak menghadapi banyak tantangan dengan perubahan sosial pada masyarakat, ekonomi,dan pemerintahan yang dialami di Indonesia pada era “modern” ini. Bagaimana, misalnya, seni bela diri tradisional bisa bersaing dengan bentuk-bentuk martial arts (seperti tae-kwan-do atau judo atau kick boxing) yang berasal dari negara lain dan yang berkat globalisasi bisa mengesampingkan bentuk seni budaya lokal?
Karena ada bermacam-macam tekanan pada sebuah tradisi lisan seperti pencak silat untuk “bersaing” dan untuk mengadaptasi pada realitas sosial yang sedang berubah dengan sangat pesat, ada kecenderungan untuk mengemasnya menjadi sesuatu yang lebih simpel, sederhana, mudah dicerna atau “dijual” daripada bentuk aslinya yang kompleks, yang penuh makna, dan berkaitan dengan nilai-nilai tradisional yang sudah mulai tergusur oleh modernitas.
Seringkali saya mendengar keluhan, atau lebih tepat kecemasan, dalam percakapan dengan mas O’ong: bagaimana pencak silat bisa bertahan, bisa diapresiasi, bisa dihargai, dan bisa dipelihara sebaik-baiknya supaya intinya tidak hilang dalam proses adaptasi pada konteks serba berubah ini? Mas O’ong seorang realistis dan seorang “practitioner” terutama dan bukan seorang birokrat P&K yang suka mengulang-ulang slogan-slogan kosong seperti “melestarikan khazanah budaya kita,” dlsb., dlsb. Tapi dia menyayangkan beberapa kecenderungan, dan itu dia analisa dalam tulisannya, dalam percakapannya, dan dalam pengajarannya pada murid-muridnya di Indonesia dan di banyak negeri di mana dia pernah mengajar (Belanda, Itali, Jerman, dan Perancis; Amerika dan Kanada; Thailand, Filipina, Laos, dan Malaysia). Diantara kecenderungan yang disayangkan itu, saya catat, misalnya:
Kecenderungan untuk menjadikan pencak silat sebuah bentuk olah raga kompetitif melulu;
Kecenderungan untuk memisahkan aspek seni dari pencak menjadi sebuah bentuk tersendiri—“pencaksilat seni nasional”, atau semacam tarian, dalam perkataan lain;
Kecenderungan untuk melupakan atau justru sengaja menghilangkan isi spiritual dari pelatihan dan pelakuan pesilat-pesilat
Kecenderungan oleh pihak-pihak tertentu untuk mempolitisisasikan pencak silat dan, misalnya, memakainya sebagai alat kampanye politik atau menjadikan jago silat sebagai tukang pukul atau “preman” untuk menakut-nakuti musuh politiknya
Kecenderungan, pada satu sisi, untuk pemecahan dan persaingan tidak sehat antara berbagai perguruan dan berbagai daerah, dan, pada sisi lain, kecenderungan untuk menyederhanakan dan menyeragamkan pencak silat agar dijadikan “benar” ataupun bersifat lebih “nasional”
Kecenderungan seperti itu memang tidak terlalu berbeda dengan situasi bentuk tradisi lisan Nusantara yang lain seperti karawitan, tari, pedalangan, sastra lisan, dlsb. Semua bentuk budaya itu menghadapi situasi kompleks dalam mempertahankan nilai-nilai intinya pada saat harus mengadaptasi pada konteks sosial yang sama sekali berbeda dengan jaman jayanya bentuk budaya itu.
Akan tetapi saya tidak mau memberi kesan bahwa mas O’ong hanya mengeluh dan hanya menyayangkan situasi itu saja. Dia memang seorang “action” di samping seorang pemikir dan peneliti. Dia giat sekali justru dalam membawa masalah-masalah ke depan khalayak untuk dipikirkan, untuk didebatkan, dan untuk dipecahkan solusinya. Di sini saya menyusun sedikit contoh dari apa yang telah mas O’ong lakukan demi kelestarian budaya pencak silat agar menjadi renungan bagi pesilat, ilmuwan, pengamat, penguasa, budayawan, dan rohaniawan.
Sebagai seorang guru dan pelatih, mas O’ong tidak kenal lelah dalam menjelaskan, menjabarkan, mencontoh, dan meneruskan ilmu dan praktek pencak silat. Dia pernah menjadi seorang “duta besar pencak silat” ke berbagai negara di Eropa, Amerika, dan Asia, dan karena ketulusannya, kharismanya, sifat humoris dan antengnya (walaupun dia bisa seram dan streng juga, tentu saja), dia sangat efektif mengajarkan praktek bentuk budaya pencak silat ini, lagipula mengajarkan beragam nilai-nilai yang tertanam di dalamnya. Dia sungguh seorang pandai dalam hal-hal “cross-cultural”—silang budaya—dan jarang sekali ada orang secakap dia dalam hal-hal itu di kalangan budaya. Banyak ahli-ahli memang, tapi jarang ada yang “out-going”, yang justru mau melintasi batas budaya, yang pandai memakai bahasa dan gaya setempat supaya apa yang mau disampaikan bisa kena tujuannya. Dia seorang pendidik sejati dan alamiah yang luar biasa.
Dia juga seorang intelektual dan ilmuwan, walaupun bukan sarjana bergelar. Dia berbeda dengan berbagai sosok terkemuka yang lebih mementingkan embel-embel pendidikan formal daripada mengabdi diri untuk penemuan ilmiah dan komunikasi hasil penemuan itu seluas-luasnya. Mas O’ong seorang ilmuwan sejati justru karena dia selalu mulai dengan, “Saya ingin tahu.” Dan setelah dia mencari tahu dan menimbulkan ide atau hipotesa, dia selalu ingin menyumbangkannya kepada khalayak, kepada murid, kepada siapa saja yang mau dengar atau baca. (Saya harap di surga sana dia sudah mendapat doktor honoris causa-nya, karena dia sungguh layak menerimanya. Maaf, saya tahu di surga embel-embel seperti itu barangkali tidak diperlukan lagi ….)
Selain seorang intektual alamiah, dia juga seorang “public intellectual”: dia sangat senang memakai forum publik (bukan politik) untuk menginspirasikan orang lain, kadangkala untuk memarahkan orang lain, untuk merangsang debat dan diskusi antara orang lain demi penentuan masalah dan sumbangan pemecahan masalah itu. Sebagai Fesbuker yang giat, dia punya ribuan “teman” (yang di alam nyata dan di alam virtual) dan dia senang sekali kalau “posting” dia yang pedas atau ngeyel menarik kontroversi, polemik pro dan kontra, dlsb. Ini sifat dari seorang “public intellectual” yang alamiah juga.
Dia berpegang kuat pada nilai pluralisme dan toleransi, dan ingin belajar dari siapa pun, dan ingin menghormati guru atau pendekar atau pemikir dari mana saja. Dia menilai tinggi keanekaragaman pencak silat dan tidak puas dengan satu cara saja, satu interpretasi, satu perguruan. Dia ensiklopedis dalam keinginan tahu. Ini tergambar dalam usaha bersama teman-teman untuk mengadakan Festival Pencak Silat di Yogya, juga pembentukan Forum Pencak Silat Tradisional, dan pencetusan ide, yang sampai sekarang belum terwujud, untuk menerbitkan sebuah ensiklopedi komprehensif tentang pencak silat.
Mas O’ong memang juga pengagum almarhum Gus Dur dan belajar banyak (seperti kita semua) dari sikap pluralistis beliau. Itu nampak sekali dari toleransinya mas O’ong sendiri. Dan dia juga terpengaruh oleh istrinya tercinta, Rosalia: perbedaan bahasa, budaya, agama tidak menjadi halangan bagi pasangan luar biasa itu. Saya yakin bahwa apa yang O’ong dan Lia belajar satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari selama puluhan tahun juga menguatkan mas O’ong dalam visinya yang toleran dan pluralistis itu.
Akhirul kata, saya harap bahwa renungan saya yang pendek dan agak ngalor-ngidul ini bisa memberi sedikit gambaran tentang apa yang saya sendiri belajar dari Mas O’ong dan dedikasinya pada tradisi, praktek, dan ilmu pencak silat. Saya harap bahwa mas O’ong bisa menjadikan tauladan untuk kita semua, khususnya bagi yang berkecimpung dalam bidang budaya: bagaimana menghadapi tantangan perubahan jaman pada sebuah bentuk budaya yang kaya sejarahnya dan sarat dengan nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial? Sebuah bentuk budaya seperti silat akan makin labil dan mudah tergeser kalau tidak dijaga dan dipelihara dengan baik oleh para guru dan muridnya. Itulah yang saya belajar dari teman saya, guru O’ong Maryono.
Terima kasih.