Kiat Rosalia Sumaryono Meneruskan Cita-Cita Legenda Silat Indonesia
Berawal dari Kerinduan kepada Almarhum Suami
Pameran patung, dokumentasi foto, serta penerbitan buku adalah beragam cara yang ditempuh Rosalia Sumaryono untuk melestarikan pencak silat.
***
MATA Rosalia Sumaryono terhenti pada patung yang diberi judul Jurus Bangau itu. Perempuan kelahiran Palermo, Italia, tersebut seperti bertemu kembali dengan almarhum suami yang selalu dirindukannya, O’ong Maryono.
Patung karya Dolorosa Sinaga tersebut merefleksikan gerakan orang yang kaki kanannya menginjak tanah, sedangkan kaki kiri diangkat serata pinggul. Lalu, kedua tangan ke atas dengan telapak mencapluk di sisi kanan dan kiri mirip gerakan bangau terbang. Gerakan tersebut terpahat indah dalam balutan fiber glass hitam.
“Patung ini lahir atas inspirasi gerakan sikap pencak silat yang kerap ditunjukkan O”ong semasa hidup,” kata Lia, sapaan akrab perempuan bernama lengkap Rosalia Sciortino Sumaryono.
Jurus Bangau merupakan satu di antara 36 patung pencak silat karya 25 pematung yang dipamerkan di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta. Pameran yang berlangsung hingga kemarin tersebut hanyalah salah satu cara Lia untuk mengenang sang suami yang dahulu pendekar silat legendaris Indonesia sekaligus melestarikan bela diri tradisional tanah air tersebut.
O’ong yang pernah dua kali menjadi juara dunia kelas bebas (1982 dan 1984) itu meninggal dunia di Singapura pada 20 Maret 2013 karena kanker usus. Pria kelahiran Bondowoso pada 28 Juli 1953 dengan nama Sumaryono tersebut juga tercatat menyumbangkan emas bagi Indonesia di SEA Games 1987.
Untuk mengenang O’ong, setahun pasca kepergiannya, Lia yang menjadi guru besar di Universitas Mahidol, Bangkok, Thailand, itu membentuk sebuah organisasi kecil yang diberi nama O’ong Maryono Pencak Silat Award. Perhatian kepada seni dan pencak silat secara keilmuan menjadi tujuan utama dibentuknya organisasi tersebut.
Lebih lengkapnya, di akun Facebook organisasi itu tertulis O’ong Maryono Pencak Silat Award adalah sebuah program hibah pendanaan untuk penelitian, dokumentasi, dan publikasi mengenai seni bela diri pencak silat.
Kecintaan Lia pada pencak silat berjalan beriringan jatuh hatinya dia kepada O’ong yang pertama ditemui di sebuah gelar seni di Amsterdam, Belanda, pada 1985. Keduanya menjadi kian dekat kala bertemu kembali di Jogjakarta pada 1987.
Saat itu O’ong tengah syuting film Tutur Tinular yang diangkat dari sandiwara radio yang populer. Film lain yang juga melibatkan mantan pelatih tim nasional pencak silat Filipina tersebut adalah Saur Sepuh, juga diangkat dari sandiwara radio terkenal.
“Saat itu saya berkunjung dan sedang studi kebudayaan di Jogjakarta,” kenang Lia yang meraih gelar doktor ilmu budaya dan sosial di Universitas Vrije, Amsterdam, tersebut.
Mereka akhirnya menikah pada 1990. Sejak itu pula ketertarikan Lia pada pencak silat semakin mendalam. Terlebih, pendidikan perempuan yang menjadi penasihat di Pusat Pengembangan Ilmu Sosial, Universitas Chiang Mai, itu memang berkutat pada ilmu sosial dan kebudayaan. Ibarat alu bertemu lumpang, keduanya kompak menjalankan karir masing-masing yang saling melengkapi.
Tercatat, sejumlah negara di Eropa dan Asia menjadi jujukan keduanya. Di Asia Tenggara, selain Filipina, O’ong pernah menjadi pelatih timnas Thailand dan Singapura. Selama puluhan tahun pasangan yang tidak memiliki anak itu berjuang agar olahraga dari Indonesia tersebut bisa menjadi tuan rumah di negeri orang.
Di luar silat, O’ong-Lia menjadi semacam simbol pluralisme yang merupakan realitas keseharian Indonesia. Meski berbeda keyakinan, pasangan beda bangsa itu rukun dan saling menghormati sampai maut memisahkan.
Lia turut terlibat aktif dalam ritual peringatan 40, 100, hingga 1.000 hari wafatnya almarhum. “Dua puluh lima tahun kami menikah, kami saling menghormati dan belajar tentang agama masing-masing,” jelasnya.
Itu pula yang akhirnya mendekatkan keduanya dengan para aktivis dan seniman yang aktif mengampanyekan penghormatan pada keberagaman. Pada 27 Juni 2013, Komnas Perempuan dan Freedom Institute turut menggelar 100 hari meninggalnya pria yang pernah menjadi humas organisasi silat dunia, Persilat, itu dengan tema Bersama dalam Perbedaan.
Acara tersebut dimeriahkan dengan marawis, tahlilan, pemutaran film dokumenter, pertunjukan silat dari Perguruan Tiga Teratai, dan monolog Butet Kertaradjasa.
“Lia ingin acara ini dibikin agak kultural, katanya untuk menghargai Mas O’ong. Maka, acara ini dibuat sedemikian rupa,” kata Yuniyanti Chuzaifah, ketua Komnas Perempuan, dalam sambutannya ketika itu, seperti dilansir situs resmi Komnas Perempuan.
Kini misi besar yang terus dijalankan Lia melalui O’ong Maryono Pencak Silat Award adalah mendokumentasikan berbagai seni dan aliran pencak silat di seluruh Nusantara. Dia memberikan wadah buat peneliti ataupun ilmuwan dari seluruh dunia buat mempelajari dan mengembangkan khazanah pencak silat yang ada di Indonesia.
Hasilnya adalah dokumentasi berbentuk foto dan penerbitan buku yang masih terus dilakukan. “Kami sudah memberikan hibah buat teman-teman yang melakukan penelitian pencak silat,” lanjutnya.
Namun, karena keterbatasan dana, O’ong Maryono Pencak Silat Award belum bisa menyediakan hibah serupa bagi penelitian dan dokumentasi dalam bentuk media audio-visual. “Apa yang kami jalankan ini semata untuk meneruskan cita-cita Pak O’ong. Jangan sampai generasi muda Indonesia tidak lagi mengenal pencak silat,” katanya.
Pameran patung yang berlangsung mulai 4 Agustus itu juga menjadi cara lain untuk menjangkau lebih banyak pihak agar peduli terhadap kelestarian silat. Lia menjelaskan, dengan menggandeng para pematung Indonesia, berarti seperti sekali kayuh, dua-tiga pulau terlampaui.
Dalam satu pameran, dua budaya tanah air bisa di-uri-uri: pencak silat dan seni patung itu sendiri. “Saya yang puluhan tahun mendampingi O’ong untuk mengenalkan silat ke berbagai negara tidak mau kalau silat dilupakan justru di rumahnya sendiri,” tegasnya.