Mereview Silat Beksi dan Tokoh-Tokohnya di Petukangan

Pencak silat telah berhasil menjadi warisan budaya dunia bangsa Indonesia yang telah diakui UNESCO pada 12 Desember 2020 melalui persidangannya di Bogota, Kolombia. Berita tersebut me buat masyarakat Indonesia terutama yang menggeluti dunia persilatan menjadi bangga dan semakin percaya diri, tak terkecuali yang dilakukan oleh Yayasan Kampung Silat Petukangan sejak 2018 lalu yang meneliti sejarah dan perkembangan Pencak Silat Beksi dan akhirnya baru pada tahun 2021 lalu terbit menjadi sebuah buku. Penulis Reyha Biadillah yang menulis Beksi khas Betawi dalam buku tersebut tidak hanya menuliskan bagaimana sejarahnya, para tokohnya dan perkembangannya serta bentuk pelestariannya yang dilakukan oleh masyarakat atau pun pemerintah, tetapi juga bagaimana lekatnya Beksi dengan unsur ajaran Islam.

Gambar: Yayasan Kampung Silat Petukangan

Buku yang diterbitkan melalui Yayasan Obor Indonesia ini merupakan upaya lain dalam melestarikan pencak silat. Sebab selama ini mayoritas pencak silat belum banyak tertuliskan secara ilmiah. Data yang ditemukan hanya berupa cerita rakyat atau folklore bahkan seringkali dibumbui oleh hal-hal mitos. Terkait dengan buku ini berupaya mengenalkan para tokoh yang berkontribusi dalam terbentuk dan lestarinya Beksi saat ini. Menurut data Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat, Beksi memiliki perguruan dan jumlah pelakunya yang paling banyak di tanah Betawi. Hal inilah yang menjadi menarik mengapa Beksi dapat berkembang pesat. Bisa dikatakan banyak orang Betawi jika ditanyakan menyebut aliran silat di Betawi pasti selalu Beksi yang dijawab.

Dalam buku ini Beksi bermula di sebuah kampung bernama Dadap yang letaknya di Tangerang, Banten. Berdasarkan folklor yang berkembang di masyarakat, Beksi dikreasikan oleh seorang Tionghoa bernama Lie Tjeng Hok namun pada saat itu belum memiliki sebutan atau nama silat tersebut. Pada saat itu orang-orang yang mempelajari gerak silat tersebut menyebutnya dengan istilah jurus atau maen pukul. Lie Tjeng Hok yang berdarah Tionghoa sebelumnya juga belajar dari Ki Jidan, seorang jago dan pendakwah yang sudah lama pula menetap di Kampung Dadap. Berkat kemampuan yang dimiliki Lie Tjeng Hok, akhirnya memadukan aliran silat yang bernafas Tiongkok dan hasil pembelajarannya dengan Ki Jidan. Lie Tjeng Hok lah yang kemudian mengenalkan jurusnya ke sanak saudaranya dan satu orang muridnya pribumi bernama Ki Marhali.

Pertanyaan mungkin akan muncul mengapa nama judul dalam buku ini menuliskan nama tokoh-tokohnya di Petukangan? Buku ini menjelaskan bahwa penamaan “Beksi” merupakan asli dari para pengkreasi di Petukangan. Secara geografis, Kampung Petukangan saat ini berlokasi di Jakarta Selatan bagian dari Kecamatan Pesanggrahan. Adapun tokoh-tokoh dari Petukangan antara lain Haji Godjalih, Haji Hasbullah, Kong Simin, M. Noer, dan Mandor Minggu. Lima tokoh itu merupakan pribumi asli Petukangan Haji Godjalih merupakan tokoh utama yang mengembangkan Beksi di Kampung Petukangan hingga menyebar ke berbagai daerah lainnya.

Haji Godjalih yang pernah menjadi kepala kampung pada masa kolonial Belanda merupakan sosok yang sangat anti terhadap kompeni. Meski ia menjabat sebagai kepala kampung, otoritasnya digunakan untuk membantu warga dan sering menjadi buronan pasukan tentara Belanda. Dalam masa buronan ini sekitar dekade 1900-an, Haji Godjalih yang dijelaskan dalam buku juga seorang pemain rebana mendapat panggilan pentas di Kampung Dadap. Ketika sampai di sana dan selesai acara pada waktu malam hendak ingin pulang, ia melihat sekelompok orang yang sedang belajar silat yang dipandu oleh Ki Jidan. Lantas pada waktu itu Haji Godjalih yang juga pandai bersilat mencoba jurus yang dipandu Ki Jidan, namun ternyata dpaat dilumpuhkan oleh Ki Jidan. Jiwa zaman pada masa itu siapa yang kalah ia harus belajar kepada yang menang sehingga Haji Godjlaih pun belajar kepada Ki Jidan. Purna belajar dari Ki Jidan ia pun meneruskan ke Lie Tjeng Hok melalui Ki Jidan. Haji Godjalih pun purna dengan sempurna dan kemudian megenalkan aliran silatnya ke saudara dan rekannya di Kampung Petukangan dan munculah empat sosok yang sampai sekarang dikenal yaitu Haji Hasbullah, Simin, M. Noer, dan Minggu. Semua muridnya juga sebelumnya telah memiliki silat kemudian kelima tokoh tersebut sepakat menyempurnakan jurus-jurus yang dimiliki. Sekitar tahun 1920-an jurus pun terbentuk dan dinamai Beksi yang memiliki akronim Berbaktilah Engkau Kepada Sesama Insan. Arti dan makna ini disarikan berdasarkan ajaran Islam yang harus saling menghargai, membantu, dan berlomba dalam kebaikan sebagai seorang manusia. Hal inilah yang akan dibahas dalam buku ini bagaimana kemudian Beksi memiliki inisiasi Rosulan yang wajib dilakukan sebelum calon pesilat belajar silat.

Rosulan dalam buku ini merupakan inisiasi ritual yang di dalamnya adalah zikir, tahlil dan solawat. Pengisian ruhani inilah yang berguna bagi pesilat nanti sebagai bekal iman setelah memiliki ilmu bela diri karena belajar ilmu diri bukan untuk menyombongkan diri tetapi harus memahami makna kehidupan. Makna kehidupan inilah yang disimbolkan melalui benda-benda rosulan mulai dari kembang tujuh rupa yang maknanya wangi harum nama sang pesilat setiap hari dalam seminggu dalam kebaikan, pisau cap garpu yang artinya ketajaman gerak pesilat, ayam jago perlambang kejantanan. Selain itu pesilat juga harus mengucap sumpah perguruan terhadap sang guru. Peristiwa ini juga membaca syahadat dan janji yang disepakati oleh guru dan murid.

Metode yang digunakan buku ini adalah metode sejarah mengingat penulis buku ini adalah lulusan sejarah dan kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendekatan yang digunakan pun antropologi namun tidak secara spesifik apakah antropologi agama atau tidak. Namun dalam buku sumber-sumber yang digunakan cukup lebih baik dari karya yang sejenis sebelumnya berjudul Beksi Maen Pukulan Khas Betawi yang terbit pada tahun 2002 oleh Yahya Andi Saputra dan H. Irwan Syfaei. Buku tersebut masih banyak menggunakan cerita-cerita mitos sebagai sumber awalnya tetapi paling tidak memperkaya khazanah tentang Beksi itu sendiri.

Meski demikian karya ini merupakan upaya yang bagus masih kurang dengan penemuan-penemuan bagaimana Beksi memiliki peran dan pengaruh dalam perang revolusi kemerdekaan mengingat tanah Betawi dikenal sebagai tanah pejuang dan jago sampai sekarang. Selain itu keterkaitan antara jago dan ulama juga kurang diulas dalam buku ini mengingat lagi tokoh-tokoh yang berperan dalam buku ini hidup pada rentang masa 1900-1990-an dan pada masa itu banyak kelompok-kelompok pergerakan yang dimotori oleh ulama atau ahli agama setempat. Akhirnya saya sangat mengapresiasi terbitnya buku ini, semoga menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi akademisi, pesilat, pegiat seni budaya, dan masyarakat luas.

Muhamad Rido
Mahasiswa Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta