Pencak silat. Yang pertama terlintas dalam benak saya adalah ini merupakan seni bela diri asli Nusantara. Uniknya ini tidak sekadar gerakan fisik untuk mempertahankan diri maupun menyerang lawan melainkan juga terkandung di dalamnya sebuah seni. Seni yang muncul dari gerakan demi gerakannya. Mulai dari posisi kaki, tangan, lekuk tubuh, kepala sampai mata berkoordinasi dengan artistik.
Saya jadi teringat ketika di sekolah menengah pernah mengikuti berbagai macam bela diri. Ketertarikan saya karena di kampung saya beberapa kali melihat pertandingan silat dan latihan silat sebuah perguruan silat. Lebih terpukai lagi ketika saya menyaksikan bagaimana seorang pesilat kebal dengan sabetan golok atau bagaimana beberapa orang penyerang yang terpental ketika mencoba menyerangnya.
Saya kecil yang waktu itu sedang hobi-hobinya membaca serial silat Wiro Sableng 212 dengan Kapak Naga Geni dan pukulan Kunyuk Melempar Buah-nya konytak berimajinasi. Kalau saya ikut latihan saya pasti bisa menjadi pendekar. Pendekar yang turun gunung memberantas kejahatan dan kezaliman. Pendekar yang selalu berkenala dengan mengenakan topi atau caping dari anyaman bambu. Pendekar yang…. ciiiiaatttt.
Tapi… nasib membawa saya menjadi dosen. Dosen galau pula…
Waktu menjadi murid salah satu perguruan silat, salah satu yang melekat adalah istilah ‘bunga-bunga’. Saya diajarkan berbagai formasi yang memang memadukan seluruh kekuatan pancaindera. Inilah mengapa pencak silat bisa dibilang ada seninya. Sekilas saya melihat dan merasakan ada semacam keindahan yang terpancar dari semua formasi dari seorang pesilat.
Pancaran itu yang saya lihat dari puluhat patung pencak silat di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM) Selasa (5/8/15) hari ini. Pameran seni patung pencak silat tersebut mengambil tema “Ekspresi Keindahan Rasa dan bentuk dalam Gerak Pencak Silat” dan berlangsung dari tanggal 1 sampai 15 Agustus 2015.
Saya terpikat dengan olahan patung dari Egi Sae dengan judul Unity. Patung dengan berbahan campuran alias mixed media itu menampilkan empat patung kecil dengan berbagai posisi yang tersebar di pating kaki dengan formasi kuda-kuda. Ada semacam perjalanan dari penyatuan pesilat dan alam ketika duduk bersila, melakukan bunga-bunga, menendang, sampai pada posisi tangan yang seperti menjura. Bagi saya hasil karya pematung yang lahir pada 21 Oktober 1969 ini bisa menampilkan keutuhan gerak pencak silat dipadu dengan keindahan desain patung yang dihasilkan.
Namun, saya juga sangat terpikat dengan “Jurus Ampuh” dari Inge Rijanto. Pematung kelahiran Semarang ini memang terbilang menghasilkan karya yang sangat pencak silat banget. Patung yang dibuat dari fiber glass resin ini menampilkan seorang pesilat dengan posisi kaki kanan menendang ke atas dan posisinya melebihi kepala si pesilat.
Inge yang pernah pameran di Art Paris Art Fair dan Salon D’automne International de Luneville Prancis ini bagi saya yang ‘awam’ dengan patung berhasil menampilkan lekuk-lekuk dan formasi pesilat dengan apik. Siapapun pasti akan merasakan aura pencak silat; aura bagaimana kekuatan dahsyat yang dimiliki oleh pesilat dengan fisiknya yang prima dan balutan pakaian tradisional yang berkarakter.
Ada juga patung-patung yang cenderung lebih artistik dalam pengertian bentuknya tidak realias, cenderung abstrak namun berhasil menampilkan pesilat di dalamnya. Mulai dari karya Adhy Putraka I dengan judul “Tarung”, Artherio dengan “Sapuan dan Gunting”, Cahyo Baskoro dengan “You will be in My Heart”, Dwi S. Wibowo dengan “Sabung Tongkat” atau Taufan Ap dengan “Terperangkap”.
O ya, tidak sekadar pameran patung, di area tersebut juga digelar berbagai kegiatan. Mulai dari pertunjukan pencak silat, latihan pencak silat terbuka, pementasan dan pertunjukan dengan tema pencak silat.