O’ong Maryono: Pendekar Sejati Yang Rendah Hati

Sorry, this entry is only available in Indonesian. For the sake of viewer convenience, the content is shown below in the alternative language. You may click the link to switch the active language.

 

Undangan Haul Pertama O’oong Maryono dan Peluncuran O’ong Maryono Pancak Silat Award / fb: Tangtungan Project, tangtungan.com

JAKARTA, InfoBondowoso.NET – Seorang pendekar pada hakikatnya memiliki jiwa dengan segala kerendahan hati untuk menyembunyikan dan tidak memamerkan kemampuannya sebagai pendekar. Rangkaian kalimat itu dibacakan oleh Butet Kertaredjasa yang secara khusus membacakan kalimat tersebut dalam peringatan satu tahun meninggalnya tokoh pencak silat Indonesia, O’ong Maryono.

Acara peringatan yang digelar di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah itu diadakan pada Sabtu (22/3/14). Nama O’ong mungkin tak setenar politikus atau selebriti yang kerap mewarnai lavar televisi. Namun didunia pencak silat, nama O’ong sangat populer.

Pria asal Bondowoso ini bernama asli Sumaryono bin Abdul Aziz. Sejak usia belia, O’ong kecil sudah memiliki ketertarikan yang dalam terhadap dunia persilatan. Saat berumur sembilan tahun, O’ong kerap memaksa kepada ayahnya agar ia diizinkan berlatih bela diri.

O’ong beruntung karena akhirnya sang ayah bersedia memberinya ijin. Pertama kalinya mengenal pencak silat di tahun 60an O’ong belajar pencak silat Madura dan Bawean, sekaligus berlatih jenis bela diri lain bernama Kuntao dari kakeknya yang bernama Matrawi.

Sejak itu O’ong serius menekuni pencak silat. Tahun 1973 pencak silat diresmikan pemerintah untuk menjadi mata lomba dalam cabang olahraga bela diri. O’ong tak mau kehilangan momentum. Ia menjadi salah satu peserta lomba. O’ong berhasil menyabet kemenangan dari berbagai kejuaraan mewakili Kabupaten Bondowoso.

Tahun itu juga menjadi tahun pertama O’ong pindah ke Jakarta. Di kota ini ia juga menekuni beladiri lainnya seperti karate, judo, aikido, ju jitsu, dan tae kwon do. Namun O’ong tetap mendalami pencak silat di sekolah Keluarga Pencak Silat (KPS) Nusantara. Di sini ia mencapai tingkatan tertinggi ilmu beladiri silat dengan menyandang sabuk putih sebagai Pendekar Paripurna.

Aktifitasnya di KPS Nusantara membuat O’ong memiliki kesempatan untuk mengikuti kejuaraan dunia pencak silat. Ia pernah mengikuti lomba di Belanda, Jerman, Italia, Filipina dan Thailand. Tahun 1979 sampai 1987 adalah masa emasnya.

O’ong dikenal sebagai pesilat yang kerap memenangkan kompetisi nasional dan internasional pencak silat yang tak terkalahkan. Ia tercatat dua kali menjadi juara dunia pencak silat di kelas bebas pada tahun 1982 dan 1984. Dia juga memenangkan hadiah pertama dalam kategori yang sama di SEA-Games ke XIV yang diselenggarakan tahun 1987 di Jakarta.

Menjadi juara diberbagai kejuaran domestik dan internasional tak membuat O’ong besar kepala. Ia tetap tampil sebagai sosok yang santun dan rendah hati. Usia tak pernah menjadi penghalang bagi O’ong untuk terus berbagi ilmu, jiwa dan raganya didunia pencak silat.

‪Kanker yang merenggut nyawanya setahun yang lalu tak menyurutkan namanya. 20 Maret 2013 di Singapura, O’ong menyerah pada kanker yang diidapnya. Ia berpulang dampingi oleh istrinya, Rosalia (Lia) Sciortino, beserta keluarga dan teman-teman.

Pengakuan atas kependekaran O’ong yang sejati sangat terasa saat digelarnya acara haul tahun pertama berpulangnya O’ong. Tak hanya Keluarga Pencak Silat (KPS) Nusantara dari Jabodetabek yang hadir saat itu, Perwakilan KPS Belanda, Italia, Jerman, Vietnam, Thailand pun turut hadir. Satu persatu perwakilan maju menyampaikan refleksi kisah hidup O’ong. Hampir semua mengisahkan bagaimana santun dan rendah hatinya O’ong.