HARI ini, Jum’at 20 maret 2015 persis dua tahun meninggalnya guru dan sahabat penulis. Yakni, Dr. Sumaryono, yang dikenal dengan panggilan O’ong maryono atau endekar O’ong. Namun acara haul Pendekar O’ong telah digelar 14 Maret 2015 di Tanoker Institute Ledokombo, tempat dimana Mas Supo Raharjo dan Mbak Ciciek Farcha, suami istri yang kaya kreasi membina anak-anak desannya menjadi magnet yang hadirnya wisatawan mancanegara ke Ledokombo. Tidak seperti umumnya “Acara Haul” sebelum tahlil, digelar musik rabbana, Sholawatan dan musik patrol. Setelah tahlil dan do;a digelar peragatan seni beladiri silat yang menghadirkan pendekar-pendekaar sepuh dan muda belia dari Ledokombo, Jember dan Bondowoso.
Istiqamah Baca Al Fatihah
Acara yang dimulai sekitar pukul 19.30, sungguh sangat unik dan menarik, sehingga sekitar seribu undangan setia mengikuti acara sampai berakhir pukul 24.00. Banyak yang penasaran, siapa Pendekar O’ong? Pendekar O’ong lahir di Bondowoso 28 Juli 1953. Sejak kecil sangat meminati be¬ladiri, sejak 9 tahun telah mem¬pelajari pencak “silat Madura dan Bawean serta berlatih seni beladiri Kuntao, dan dari Kakek Matrawi, ia belajar gaya Macan Kumbang. Ketika pencak silat diakui sebagai mata lomb a dalam cabang olah¬raga beladiri (1973), O’ong rnulai bertanding dan memenangkan berbagai kejuaraan mewakili Bondowoso. Tahun 1973 pindah ke Jakarta dan berlatih ragam ilmu beladiri lainnya, seperti karate, judo, aikido, jujitsu, dan taekwondo sambil tetap mem¬perdalam Pencak Silat di sekolah Keluarga Pencak Silat (KPS) Nu¬santara. Di sini ia mencapai ting¬katan tertinggi ilmu beladiri silat dengan menyandang sabuk putih sebagai Pendekar Paripurna dan berhasil membawa pencak silat ke pentas dunia, antara lain di Belantla, Jerman, Italia, Filipina dan Thailand.
Tahun 1979-1987 O’ong mulai memenangkan kompetisi nasio¬nal dan internasional pencak silat yang tak terkalahkan. O’ong dua kali menjadi juara dunia pencak silat di kelas bebas, pada tahun 1982 dan 1984, antara ta¬hun 1982 dan 1985 karier O’ong sebagai olah-ragawan beladiri mendominasi kejuaraan nasional Tae Kwon Do dan memenangkan juara di kelas berat. O’ong juga memenangkan juara pertama dalam kategori yang sama di SEA-Games ke XIV (1987) di Jakarta. Setelahmengakhiri karier• sebagai atlet, O’ong melanjutkan kariernya sebagai pelatih silat di Brunei Darussalam, Belanda, Filipina, dan Thailand.
O’ong juga main di film seni beladiri Indonesia seperti Tutur Tinular, Saur Sepuh dan Jaka Swara. O’ong juga peneliti pencaksilat dan beberapa kali menerbitkan karya lepas tentang seni beladiri. Bu¬kunya tentang “Pencak Silat Me¬rentang Waktul Pencak Silat in the Indonesian Archipelago” menjadi karya penelitian monu¬mental yang menekankan aspek sosial budaya pencak silat dalam dinamika zaman, memperoleh pengakuan luas dan menjadi sumber utama pengetahuan tentang pencak silat.
Setelah bertarung dengan gagah berani dan penuh santun di dunia persilatan, Pendekar O’ong akhir¬nya pasrah menjalani takdir. Setelah berikhtiar melawan kan¬ker, Pendekar O’ong wafat di Singapura 20 Maret 2013 dipe¬lukan istrinya, Prof. Rosalia (Lia) Sciortino, didampingi keluarga dan teman. Atas permintaan ke¬luarga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), jenazah Pendekar O’ong diterbangkan dari Singa¬pura ke Jakarta dan dimakamkan di kompleks pemakaman Pesan¬tren Ciganjur Jakarta.
Penulis bersama istri pertarna kali ketemu dan berkenalan de¬ngan Pendekar O’ong dan istrinya (Prof. Dr. Rosalia Sciortino) pada 1996. Orangnya ganteng, gagah perkasa, humoris, dan sangat santun. Perkenalan kami berlang¬sung singkat dan akrab. Singkat, karena kala itu sedang banyak tokoh, maldum di Jember baru pertama kali digelar Halaqah Fiqh an-Nisa’ di Pesantren Nurul Islam binaan KH. Muhyiddin Abdushomad. Akrab, begitu me¬ngetahui bahwa kami dan Pen¬dekar O’ong berasal dari daerah yang sama (Bondowoso), sehingga mudah mengenang masa kecil kami. Namun demildan, meski sama-sama berasal dari Bondo¬woso, sejak 1978 penulis memilih bermukim di Jember, sedang Pendekar O’ong karena pengab¬diannya harus berpindah-pindah dari Jakarta ke berbagai negara, sehingga selain kental dengan ,bahasa Madura juga menguasai berbagai bahasa dunia.
Pasca pertemuan singkat tersebut penulis penasaran, siapa sebenarnya sosok Pendekar O’ong. Penulis kemudian menelusuri berbagai referensi, dan mencari keluarga di tempat ke¬lahirannya, barulah penulis agak memahami bahwa O’ong yang gagah perkasa, humoris dan santun itu ternyata seorang pen¬dekar, pesilat dunia dan pelatih silat di berbagai penjuru dunia. Penulis pernah bersilaturrahim ke kediaman Pendekar O’ong ketika di Jakarta dan hendak bo¬yong ke Filipina, penulis coba diskusi dari hati ke hati sampai lama.
Ketika tanya apa yang rutin dibaca setiap kali bertanding, dia jawab berdoa, tapi tidak per¬nah dikemukakan doa yang rutin dibaca. Pada 2010, ketika terakhir kalinya menyaksikan Festival Egrang di Ledokombo, penulis bertanya lagi tentang doa yang dibaca setiap akan bertanding. Pendekar O’ong menjawab doa biasa, doa biasa yang bagaimana? Pendekar O’ong menjawab selalu membaca al-Fatihah dan shala¬wat. Argumen Pendekar O’ong, membaca al-Fatihah karena fa¬tihah “mandhih/mujarrab”,membaca shalawat karena biar selamat. Selain itu apa yang dilakukan? Pendekar O’ong men¬jawab: “Saya selalu berusaha tidak menyakiti lawan bertanding, meski bertanding itu bisa ber¬akibat sakit”. Seketika itu hilang rasa penasaran penulis sambil berbisik dalam hati, mungkin ini rahasianya sehingga Pendekar O’ong menjadi istimewa, karena, istiqamah, istiqamah membaca al-Fatihah dan shalawat setiap hendak bertanding, sehingga Allah memberinya karomah dan keistimewaan kepada Pendekar O’ong.
Penulis teringat dawuh guru penulis KH. Achmad Siddiq, yang selalu menekankan “al-istiqamatu khairun min alfi karomah/istiqa¬mah itu lebih baik dari seribu karomah”, sehingga setiap orang yang istiqamah diyakini akan diberi kelebihan, bahkan keis-timewaan oleh Allah Swt. Pen¬dekar O’ong sangat mensyukuri karunia fisik, sehingga dia menjaganya, merawatnya, dan me¬ngembang,kan potensi fisiknya sampai menjadi sosok pendekar yang santun, apalagi jika teringat bahwa Nabi Saw adalah sosok yang lcuat, sehingga mampu me¬ngalahkan Rokakah, seorang pegulat ternama di masa Nabi Saw. Karena itu, jika Pendekar O’ong bermimpi melestarikan seni beladiri pencak silat, maka para pesilat muda bukan hanya harus serius belajar ilmu silat, tetapi jadilah pesilat sejati yang santun seperti Pendekar O’ong. Penulis hanya berdoa semoga amal Pendekar O’ong diterima, dosa dan salahnya diampuni, dan karena kesenangan Pendekar O’ong membaca shalawat semoga memperoleh syafaat dari Ra¬sulullah Saw.
Sebagai pamungkas, penulis ingin mengutip makalah ‘yang terdapat dalam kitab Ta’lim Mu¬ta’allim karya Syaikh Az-Zarnuji, dinyatakan: ” kam min ‘amalin yatashawwaru ‘amaladdun yaa fayashiiru ‘amalal aakhirati bi¬husninniyyati wakam min ‘amalin yatashawwaru ‘antalal aakhirati fayashiiru ‘amalad dun yaa bisuu in niyyati/begitu banyak amal perbuatan yang bercorak duniawi kemudian menjadi amal ukhrowi karena niat baik (karena Allah. Swt), dan sebaliknya, banyak amal perbuatan yang bercorak ukhrowi tapi berubah menjadi duniawi karena niatnya yang buruk (bukam karena Allah Swt).” Wallahu a’lam.