Mengenang Seribu Hari Meninggalnya “Mas O’ong” Sumaryono

Sorry, this entry is only available in Indonesian. For the sake of viewer convenience, the content is shown below in the alternative language. You may click the link to switch the active language.

 

Mengenang Seribu Hari Meninggalnya "Mas O'ong" Sumaryono

Nama Sumaryono atau yang sering disebut Mas O’ong begitu dikenang dalam dunia pencak silat lndonesia. Dua kali juara dunia pencak silat dan mempesembahkan medali emas untuk Indonesia di Sea Games 1987 menjadikannya orang Bondowoso yang pernah mendunia.

Pertama Raih Juara di Gor Pelita

Malam itu 14 Desember, Gor Pelita berbeda dengan malam biasanya. Banyak orang yang mengenakan pakaian pencak silat, baik warna putih, merah, batik dan ada pula memakai songkok serta blangkon. Namun, kedatangan mereka ke pusat olahraga indoor di Bondowoso tersebut bukan untuk bertarung atau melihat pertandingan olahraga pencak silat.

Banner bertuliskan mengenang 1000 hari wafatnya Mas O’ong Maryono yang berada di dalam Gor Pelita, menjadi penegas bahwa para pendekar itu datang bukan untuk sebuah pertandingan. Setiap yang datang diberi secarik kertas berisi kisah dan sepak terjang pesilat legendaris asal Bondowoso O’ong Maryono. Kemasan acara juga tak monoton layaknya menghayati petuah bijak almarhum. Melainkan ada sajian hiburan baik dari pesilat muda, veteran hingga aktraksi enggrang dari tanoker yang menyejukan mata.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember, Ahmad Halim Subahar, yang hadir di tempat mengatakan O’ong adalah nama panggilan sejak kecil oleh teman-temannya. Nama aslinya adalah Sumaryono yang lahir di Bondowoso 28 Juli 1953. Sejak kecil beliau, tambah Subahar, sangat meminati dunia beladiri dan guru pertamanya adalah sang Kakek sendiri, Matrawi.

Ketika pencak silat diakui sebagai cabang olahraga beladiri di tahun 1973, O’ong Maryono mulai bertanding dan kejuaran tingkat Kabupaten Bondowoso pertama diraihnya di Gor Pelita Bondowoso. Dari juara tingkat kabupaten, O’ong hijrah ke Jakarta. Dalam rentang 1979 sampai 1987, O’ong mendominasi kompetisi pencak silat nasional hingga internasional. “Lha Gor Pelita ini pertama juara tingkat Kabupaten, dan terus melejit prestasi Oong,” tambahnya.

Guru dari Para Jawara Silat Dunia

Di antara prestasi internasional yang diraihnya, O’ong jadi juara dunia pencak silat di kelas bebas pada tahun 1982 dan 1984. Selanjutnya dia mempersembahkan medali emas di kategori yang sama di SEA Games ke XIV tahun 1987 di Jakarta. O’ong juga sukses sebagai olah-ragawan beladiri pada kejuaraan nasional Tae Kwon Do pada tahun 1982-1985 dengan mendapat gelar juara di kelas berat.

Setelah mengakhiri kariernya sebagai atlet karena usia, O’ong Maryono bermain di film beladiri Indonesia seperti Tutur Tinular, Jaka Swara, and Saur Sepuh, hingga melatih di luar negeri. “Pelatih tim nasional Brunei Darussalam, Filipina, dan terakhir di Thailand,” tambahnya. Bahkan, dia juga melatih di belahan Eropa, mulai dari Belanda, Italia dan Jerman. Jadi menurut Subahar, Oong termasuk tokoh yang memperkenalkan olahraga bela diri Indonesia pencak silat di luar negeri.

Tak hanya sebagai pesilat saja, O’ong juga melakukan penelitian tentang pencak silat dan beberapa kali menerbitkan tulisan lepas tentang seni beladiri. “Tahun 1998 dia menerbitkan buku dengan judul, Pencak Silat Merentang Waktu,” tambah Subahar. Bahkan Oong memiliki gelar doktor sebagai ahli antropologi sport.

Setelah setahun lebih bertarung melawan kanker usus buntu, tambah Subahar, Oong akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Singapura pada 20 Maret 2013, tepat di peluk oleh istrinya, Rosalia Sciortino. Setahun kemudian, O’ong Maryono Pencak Silat Award didirikan sebagai tanda penghormatan atas jasanya dan untuk mendukung pelestarian dan pengembangan pencak silat sesuai mimpinya.

Menurut Subahar, O’ong tak hanya dikenal sebagai atlet pencak silat saja. Dia juga dikenal dengan dengan ulama, salah satunya Alm Gusdur. “Ketika Gusdur sakit di rawat di luar negeri, Mas O’ong dan Prof Rosalia Sciortino yang menemani,” tambahnya. Bahkan, Oong di semanyamkan di kompleks Pemakaman Keluarga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Pesantren Ciganjur Jakarta. Di Ciganjur itu pulalah, senantiasa digelar tahlil sejak hari pertama hingga tujuh meninggalnya O’ong.

O’ong, kata Subahar, benar-benar telah memberikan kita contoh bagaimana harus beramal sesuai dengan ilmu, jiwa, dan raganya. “Oong, memang lahir di Bondowoso, tapi bukan hanya untuk Bondowoso. Karena dilahirkan untuk jadi guru para jawara di berbagai belahan dunia,” imbuhnya. Dalam acara itu juga tampak pesilat bule, yang sering diajak foto selfie bersama pesilat asal Bondowoso.

1555580_642349262571265_75907955035937723_n