Resensi Buku: Ilmu Kehidupan Dalam Perguruan Silat

Sorry, this entry is only available in Indonesian. For the sake of viewer convenience, the content is shown below in the alternative language. You may click the link to switch the active language.

scan0006Judul buku : Pencak Silat Setia Hati. Sejarah, Filosofi, Adat Istiadat
Penulis : Agus Mulyana
Penerbit : Tulus Pustaka, Bandung, 2016
Tebal Buku : xvi + 216 hlm; 14,5 x 20,5 cm
Peresensi : Henri Nurcahyo

Dalam pandangan masyarakat kebanyakan, Pencak Silat adalah salah satu olahraga seni beladiri khas Indonesia. Namun Pencak Silat (kadang cukup disebut Silat saja), juga digolongkan sebagai kesenian, disebut Seni Pencak Silat. Tetapi ternyata Silat bukan sekadar urusan olahraga atau kesenian belaka. Dalam tubuh perguruan silat juga mengajarkan berbagai hal terkait dengan hakekat kehidupan. Perguruan silat tak ubahnya bagai universitas tersendiri yang mengajarkan filsafat dan kebudayaan sebagai dasar penting bagi kehidupan manusia.

Mungkin bagi pelaku silat sendiri, bahwa silat itu masuk olahraga apa kesenian bukan urusan yang penting dipersoalkan. Tetapi ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah, itu menjadi penting untuk dijelaskan. Dampaknya, juga berimbas pada bagaimana masyarakat memposisikan silat ini, sebagai olahraga atau kesenian? Jadi kalau selama ini aktivitas persilatan lebih banyak berurusan dengan dunia olahraga, karena yang eksis di permukaan adalah silat sebagai (salah satu cabang) olahraga. Apalagi pencak silat sudah masuk agenda pertandingan dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) bahkan juga SEA Games.

Meskipun, buku yang merupakan hibah O’ong Mayono Award ini tidak membahas hal tersebut, namun dalam konteks itulah maka peluncuran buku karya Agus Mulyana yang dilakukan di gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jatim (9/12) ini menjadi menarik. Sampai-sampai seorang pejabat di institusi tersebut berkomentar pada saya, “baru kali ini saya ketemu dengan komunitas silat.” Itulah realitanya. Bahwa silat ternyata masih dianggap bukan bagian dari kebudayaan. Konsekuensinya, jangan berharap ada anggaran yang dialokasikan untuk silat dari institusi kebudayaan. Apa boleh buat.

Judul buku ini adalah “Pencak Silat Setia Hati”. Maka wajar saja muncul pertanyaan pertama dari pembaca: “Apakah Pencak Silat Setia Hati itu?” Tetapi buku ini justru dimulai dengan pertanyaan dalam Bab Pertama yang berjudul: “Apakah Persaudaraan Setia Hati itu?” Lho, kok gak nyambung? Sampai dengan hal 42 dijelaskan mengenai apa yang dimaksud: Masyarakat Setia Hati; Hakekat Persaudaraannya; Arti Setia Hati; Falsafah; Sapta Wasita Tama; dan penjelasan mengenai penelitian yang kemudian dibukukan ini. Kalau memang demikian, mengapa tidak menggunakan judul “Persaudaraan Setia Hati” saja, sehingga lebih nyambung dengan isinya?

Demikian pula Bab 2, dipaparkan mengenai sejarah Persaudaraan Setia Hati (SH), yang hampir semuanya berisi sejarah hidup sang pendiri SH yaitu Ki Ngabehi Surodiwiryo. Bahkan dalam Bab 3 yang berjudul: “Adat Istiadat Masyarakat Setia Hati” hampir tidak menyebut soal pencak silat. Baru pada Bab 4 secara khusus bicara soal “Membedah Rahasia Pencak Silat Setia Hati” sepanjang 44 halaman. Sementara bab terakhir, semakin menajamkan nilai-nilai filosofis SH sebagai sebuah persaudaraan. Makna persaudaraan itulah yang diulang beberapa kali di sepanjang ini buku ini, termasuk dalam bab terakhir. Hal ini semakin menegaskan soal persaudaraan itulah yang lebih dominan ketimbang pencak silatnya sendiri.

Dengan kata lain, dari paparan daftar isi buku tersebut maka pencak silat hanyalah bagian (bisa jadi bagian kecil) dari sebuah bangunan besar yang disebut Persaudaraan. Lantas, apa deskripsi dari kata Persaudaraan? Dijelaskan di beberapa halaman secara terpisah, antara lain di halaman 100, bahwa: Persaudaraan Setia Hati itu bukan suatu perkumpulan, bukan organisasi atau partai politik atau organisasi sosial yang mempunyai AD dan ART. Karena itu tidak mempunyai pengurus yang dipilih untuk masa tertentu, tidak ada pengurus besar, tidak ada cabang atau ranting, termasuk rapat-rapatnya. Tidak ada pemungutan suara untuk memutuskan sesuatu, tidak ada kuorum, tidak ada iuran dan tidak meminta subsidi kepada siapapun. Tidak ada anggota, sehingga tidak ada daftar anggota yang harus dibukukan. Tidak pernah mengasosiasikan diri kepada badan lain, tidak pernah mempunyai wakil di suatu badan, federasi atau lainnya dan tidak mengirim utusan sebagai wakil untuk duduk dalam badan tertentu. Yang ada dan hidup adalah satu pengikatan secara sukarela antar saudara Setia Hati dalam satu keluarga, satu paguyuban yang didasarkan atas rasa kebatinan, atas ilmu. PSH mengolah raga maupun batin untuk mencapai keluhuran budi guna kesempurnaan hidup.

Tetapi ada juga SH yang memiliki pandangan berbeda dengan uraian di atas. Mereka tergabung dalam Setia Hati Organisasi (SHO) yang bernaung dibawah Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Mereka menginginkan adanya persaudaraan yang teratur dalam organisasi sebagai alat, sarana atau formalitas aspek legal, meskipun bukan seperti organisasi dalam arti kata sebenarnya. Di kemudian hari SHO menjadi SH saja. Dan ternyata, warga SH mendirikan rumpun-rumpun tersendiri yang tersebar di berbagai kota, termasuk di Singapura dan Belanda.

Persaudaraan Setia Hati (PSH) juga memahamkan hakekat saudara yang tadinya bukan saudara sekandung menjadi seperti saudara sekandung, bahkan melebihi, karena ada ritual khusus pengangkatan sebagai saudara yang disebut Keceran (Jawa, sah-sahan). Dalam ritual keceran itulah dilakukan “pengisian” yaitu memberi wejangan rohani untuk mendorong agar warga SH berbuat lurus (luhur), pikiran dan hatinya terbuka, terinspirasi proses yang dijalaninya sehingga menjadi padhang (terang) alam pikirannya sebagai manusia. (hal 127). Proses keceran itu juga dilengkapi dengan kurban berupa seekor ayam jago yang disembelih untuk dimakan bersama, serta beberapa pelengkap lain seperti kain putih (mori), air putih, kemenyan, uang logam tiga jenis, dan tumpeng robyong.

Prosedur menjadi warga SH itu sangat penting untuk dapat mempelajari pencak silat SH karena warga SH dilarang mengajarkannya kepada siapapun, termasuk anak sendiri, tanpa terlebih dulu masuk sebagai warga SH. Lagi pula, belajar pencak silat SH bukan menjadi tujuan utama memasuki PSH, melainkan sebagai kelengkapan untuk memantapkan pendalaman cita-cita SH yakni menjadi manusia utuh yang ber-Tuhan, berguna bagi masyarakat, sanggup mengutamakan kepentingan umum, memihak pada kebenaran, setia kepada sumpahnya dengan berusaha memahami dan mengamalkan falsafah hidup SH yang diterimanya secara sadar dan sukarela. (hal 136). Menguasai pencak silat SH saja tanpa memiliki cita-cita kemanusiaan yang luhur dan mulia, sama berbahayanya dengan memiliki senjata mematikan yang dengan mudah dikuasai oleh sifat-sifat angkara murka yang tak terkendalikan oleh budi luhur.

Teknik Pencak Silat SH terdiri dari berbagai aliran pencak silat, yaitu Silek Tuo Minangkabau, aliran Aceh, Maenpo Sunda, Betawi dan Kuntao Tionghoa. Kesemuanya diambil sari-sarinya dan disusun menjadi 36 jurus atau teknik permainan. Keragaman teknik ini lantaran pendiri SH, Ki Ngabehi Surodiwiryo, melakukan pengembaraan dalam berburu ilmu silat ke berbagai tempat, mulai dari Jombang, Bandung, Batavia, Bengkulu, Padang, Lhok Seumawe, dan kembali lagi ke Batavia dan Bandung.

Baru pada hal 142 dapat dibaca mengenai definisi Pencak dan Silat, Pencak Silat lahiriah dan Pencak Silat Rohaniah. Yang dimaksud Pencak adalah gerakan-gerakan yang dapat ditiru, ditulis atau digambar. Sedangkan Silat adalah gerakan-gerakan pertandingan yang dilakukan dari hasil tiruan-tiruan yang tidak dapat ditulis atau digambar. Pelajaran silat dapat diberikan melalui teori secara lisan. Itu semua termasuk pencak silat dari sudut pandang lahiriah.

Sementara Pencak Silat secara rohaniah adalah “berpencak silat tanpa pencak silat”. Maksudnya, berpencak silat tanpa menggunakan jasad, gerak lahir luluh oleh gerak batin, dan gerak batin tercermin oleh gerak lahir. Dengan demikian pencak adalah segala bentuk gerak tingkah laku manusia yang dapat dilihat dan dirasakan secara nyata. Sedangkan silat berasal dari kata silaturahim yang berarti menyambung dan menghimpun. Kata silat juga mengisyaratkan shalat, selain juga bisa pula merujuk pada kalimat fushilat (Yang Dijelaskan). Jadi, pencak silat secara rohani adalah segala perilaku manusia dalam menegakkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam mengenal diri pribadi (hal 143).

Nah, sesuai dengan judul buku ini, maka kalau menurut saya, selayaknya penjelasan elementer seperti ini diposisikan di bagian awal. Bahkan, secara keseluruhan bab 4 ini dijadikan bab pertama. Baru kemudian penjelasan secara kilas balik, dijelaskan mengapa kesemuanya itu lahir dan menjadi ciri khas Pencak Silat Setia Hati. Atau, alternatif lainnya, barangkali perlu ada artikel pendahuluan yang menjelaskan posisi pencak silat dalam rumah besar bernama persaudaraan. Tapi itulah pilihan penulisnya (atau editornya?). Memang sah-sah saja. Ini hanya soal selera editing konten buku, karena kerja editing tidak sesederhana koreksi tata bahasa belaka.

Kalau masih boleh cerewet mengkritisi hal-hal teknis dalam buku ini, bahwa judul yang dipergunakan adalah: “Pencak Silat Setia Hati. Sejarah, Filosofi, Adat Istiadat.” Namun dalam urutan penyajian ternyata diuraikan mengenai Sejarah lebih dulu, Adat Istiadat dan baru soal Filosofi. Jadi, akan akan lebih pas kalau digunakan urutan yang disebut terakhir itu, yakni: Sejarah, Adat Istiadat (lebih bagus ditambah kata “dan”) Filosofi.

Terlepas dari beberapa kekurangan kecil itu, buku ini sangat bernilai di tengah kelangkaan literatur mengenai pencak silat. Dengan membaca buku ini masyarakat umum menjadi tahu bahwa pencak silat ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Bahwa pencak silat itu sedemikian rumit, memiliki landasan kuat terkait filosofi, agama dan kebudayaan. Belum lagi bahwa dalam katagori pencak silat itu sendiri terdapat sekian banyak aliran dan versi yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri.

Barangkali inilah hikmah setelah kepergian jawara silat legendaris asal Bondowoso, O’ong Maryono, sehingga istrinya, Rosalia Sciortino lantas sangat bersemangat melakukan gerakan sosialisasi pencak silat terutama dalam hal pengadaan literatur. Perempuan asal Italia itu mendirikan lembaga khusus yang memberikan hibah untuk penelitian dan penerbitan buku mengenai pencak silat. Latarbelakangnya sebagai aktivis sosial yang memiliki jaringan luas sangat membantu kelancaran upayanya. Tentu saja, perjuangan hebat seperti ini tidak boleh berhenti hanya pada seorang Lia. Harus ada penerusnya, sehingga pencak silat tidak lagi hanya diposisikan sebagai salah satu cabang olahraga saja, atau dipertentangkan dengan kesenian, melainkan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Barangkali itulah pesan tersirat dari kehadiran komunitas pencak silat di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur. (*)