Pencak silat sudah lama dikenal di Indonesia, namun budaya itu perlahan kalah tenar dengan olahraga bela diri lain dari luar negeri.
Agar pencak silat tetap diminati dan bahkan dikenal ke penjuru dunia seorang antropolog dari Italia, Rosalia Sciortino Sumaryono, berusaha mengedukasi masyarakat mengenai pencak silat.
Rosalia Sciortino Sumaryono bercerita bahwa O’ong Maryono, suaminya dan seorang tokoh pencak silat Indonesia, sempat khawatir bahwa pencak silat tidak dihargai di Indonesia.
Dan kini dua tahun setelah O’ong Maryono tiada, Rosalia berusaha melestarikan budaya Indonesia tersebut.
Asal usul pencak silat tidak terlalu diketahui, kata Rosalia.
Tetapi pencak silat diyakini berawal dari peniruan gaya-gaya hewan seperti monyet, macan dan lain sebagainya.
Hal tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah ilmu dalam peperangan dan kemudian menjadi sebuah olahraga yang mencakup aspek bela diri, seni dan spiritual.
Untuk mengenalkan pencak silat kepada khalayak selama dua pekan pada bulan Agustus 2015, Rosalia dan teman-temannya mengadakan pameran dan pertunjukan pencak silat di Taman Ismail Maruzki, Jakarta.
Dalam pagelaran di TIM tersebut ditampilkan pencak silat asal Betawi. Jenis pencak silat Betawi bermacam-macam, ungkap Rosalia.
“Di antara Betawi sendiri, berbeda jauh. Ada yang terpengaruh sama Cina, Arab ada yang terpengaruh dari campuran sama Jawa Barat dan waktu itu jelas tidak ada perbatasan antara Jakarta, Jawa Barat dan lain-lain,” kata Rosalia.
Melestarikan pencak silat
Jika ingin melestarikan pencak silat, bagaimana caranya untuk dapat mempelajari seni bela diri tersebut?
Jafar Shodiq, seorang pemain berusia 26 tahun, mengatakan dia hanya butuh satu tahun untuk bisa bermain pencak silat.
Dalam pertunjukan pencak silat di Taman Ismail Marzuki pertengah Agustus lalu, dia memainkan pencak silat api.
Sebuah atraksi pencak silat dengan gerakan-gerakan yang lincah namun menggunakan obor api.
Diiringi lagu yang dinamis, Jafar bersama sembilan pemain lainnya memutar-mutar obor api dan harus terhindar dari percikan api. Sebuah adegan yang rumit dan berbahaya.
“Sebenarnya sih, gak ada yang susah. Semua mudah kalau kita sering berlatih. Kalau kami sih latihan dua minggu sekali,” tutur Jafar.
Pagelaran di TIM tersebut dihadiri oleh ratusan orang. Salah satunya adalah Nia Syarifudin yang merasa prihatin dengan semakin terlupakannya pencak silat.
“Waktu saya kecil, silat itu sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Saya tinggal, besar dan lahir di Jakarta, ya kalau lihat silat itu latihan dekat rumah, di sekolah ada ekstra kurikuler, nah sekarang silat udah semakin jauh dari kehidupan masyarakat kebanyakan,” kata Nia.
Mengenalkan pencak silat kembali ke generasi muda, itulah yang sangat diinginkan oleh Rosalia. Tapi dia mengungkap hal tersebut tidak mudah.
“Kesulitannya memang banyak dan itu frustrasi buat suami saya. Yang frustrasi memang dia, tapi kita juga selalu ikut frustrasi juga. Tapi sekarang juga memperhatikan lebih langsung yah.
Sulit dibilang kenapa, tapi ada beberapa asosiasi yah. Jadi mungkin hal-hal yang sepert ini yang juga mempengaruhi, selain dukungan-dukungan dari berbagai pihak masih tidak maksimal,” tambah Rosalia.
__