Kisah Rosalia Merawat Mimpi Seorang Legenda Silat Indonesia

Sorry, this entry is only available in Indonesian. For the sake of viewer convenience, the content is shown below in the alternative language. You may click the link to switch the active language.

Denpasar, CNN Indonesia — Rasa terpukul karena kehilangan Sumaryono tak pernah benar-benar hilang dari diri Rosalia (Lia) Sciortino, seorang perempuan berdarah Italia. Tiga tahun setelah Sumaryono meninggal karena kanker, Lia pun masih mengisi keseharian dengan merawat mimpi suami tercintanya itu: melestarikan pencak silat.

Ya, Sumaryono atau yang akrab dikenal O’ong Maryono adalah seorang tokoh pencak silat Indonesia. O’ong memenangi banyak kompetisi nasional dan internasional serta menjadi juara dunia 1982 dan 1984.

Namun warisan O’ong melampaui deretan medali. O’ong adalah sosok yang menyebarkan pencak silat ke berbagai negara dan juga peneliti aspek sosio-kultural cabang bela diri asal Indonesia itu. O’ong mengabadikan hasil penelitiannya lewat buku Pencak Silat for Future Generations.

Rosalia Sciortino memamerkan buku karya suaminya, O'ong Maryono berjudul Pencak Silat fot Future Generations. (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama)

Rosalia Sciortino memamerkan buku karya suaminya, O’ong Maryono berjudul Pencak Silat fot Future Generations. (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama)

Semasa hidupnya, O’ong resah pencak silat tak lagi dihargai di tanah kelahirannya sendiri. Keresahan ini yang coba dijawab Lia dengan berbagai cara, mulai dari menggelar pameran hingga mendirikan program dana penelitian pencak silat.

Saat ditemui CNNIndonesia.com, Lia tengah memeriksa buku-buku dan baju-baju silat yang ia pamerkan di depan pintu masuk arena Kejuaraan Dunia Pencak Silat 2016.

“Sepeninggalannya, lama-lama juga saya ingin meneruskan impiannya. Saya memang bukan ahli pencak silat, walaupun sering ikut dia (O’ong) ke mana-mana. Jadi belajar dari dia cukup banyak,” kata wanita berkebangsaan Italia dan Belanda tersebut di Gelanggang Olahraga Lila Bhuana.

“Rumah saya selalu penuh dengan orang-orang silat. Mau tidak mau aspirasi mereka harus didengar. Sekarang tinggal bagaimana saya meneruskan keahlian beliau.”

Berbeda jauh dari profesi suaminya, Lia merupakan Doktor lulusan cumlaude jurusan Ilmu Sosial dari Vrije Universitiet (1992). Perempuan 57 tahun tersebut merupakan seorang ahli budaya dan antropologi.

Sebelum mengenal O’ong, Lia mengaku sudah lebih dahulu jatuh cinta dengan Indonesia.

Kecintaan itu menuntunnya untuk meneliti dan mendapatkan gelar S2 dan S3 di Indonesia. Ia memang sangat tertarik terhadap hal-hal yang berkaitan kebudayaan, khususnya di negara-negara berkembang.

“Saat sedang melakukan penelitian untuk gelar S3, saya bertemu suami saya (O’ong). Sebetulnya, kami pernah bertemu di Belanda waktu dia ada acara di sana, tapi saya mulai serius berhubungan dan pacaran di Yogyakarta,” katanya.

Bila Lia lahir di Palermo, Italia, pada 11 November 1959, O’ong lahir di Bondowoso pada 28 Juli 1953.

 

Sejak berusia sembilan tahun, O’ong berlatih pencak silat Madura, Bawean, dan Kuntao. Guru pertama O’ong adalah kakeknya sendiri, Matrawi, yang memperkenalkannya dengan aliran silat Macan Kumbang. Ia kemudian menjadi anggota dari perguruan Elang Putih.

Pada 1973, O’ong memulai kariernya sebagai pesilat dan memenangi kejuaraan di Bondowoso, Jawa Timur. Di tahun yang sama, ia pindah ke Jakarta. Selain berlatih silat di Keluarga Pencak Silat Nusantara (KPSN), ia juga mempelajari ilmu bela diri lain seperti karate, judo, aikido, jujitsu, dan taekwondo.

KPSN, ucap Lia, merupakan perguruan besar dan termasuk 10 perguruan paling bersejarah di Indonesia. Lia mengatakan O’ong di KPSN jadi murid yang paling cemerlang, hasil didikan Muhammad Hadimulyo dan Bambang Anggono.

“Dari tingkat nasional, di PON, dia menang terus. Dia cinta semua bela diri, tapi paling cinta pencak silat. Karena menurut dia, pencak silat itu bela diri yang paling lengkap bila seseorang betul-betul mempelajarinya,” ucapnya.

Dari 1979 sampai 1987, O’ong memenangi banyak kompetisi nasional maupun internasional. Ia dua kali memenangkan Kejuaraan Dunia Pencak Silat di kelas bebas pada 1982 dan 1984, dan juara SEA Games 1987 di Jakarta.

Semasa hidupnya, O’ong aktif mempromosikan teknik silat KPSN di berbagai penjuru dunia. Atas berbagai kontribusi tersebut, O’ong diberikan sabuk putih dan dinobatkan sebagai Pendekar Paripurna/Dewan Guru sebagai tanda penghormatan tertinggi.

“Orang lain mungkin bilang dia legenda. Kalau saya, karena dia suami saya, tidak terlalu melihat dia seperti sosok legenda. Tapi tahu dia terkenal.”

“Dia selalu menyebarkan pencak silat ke seluruh dunia, sendirian. Walaupun dia punya posisi sebagai Humas di Persilat, kebanyakan penyebaran yang ia lakukan atas inisiatif sendiri. Memang orangnya juga cukup sosial, dia tidak berada dalam IPSI karena kami terus berpindah-pindah,” ujar Lia.

Sebelum O’ong meninggal, Lia mengatakan suaminya ingin pencak silat tersebar di seluruh dunia.

“Tidak ada dalam keluarga O’ong yang menjadi penerus, tapi muridnya banyak. Seperti Presiden Pencak Silat Jerman, Italia, di Thailand juga banyak sekali. Jadi banyak sekali penerus dia, tapi dari keluarga tidak ada.”

“Maunya dia pencak silat dapat mendunia dengan lebih berkualitas. Tidak sekadar mendunia. Dan memperhatikan pencak silat bukan hanya olahraganya, tapi juga kekayaan yang ada di pencak silat,” tuturnya. (vws)