“Maen Pukulan” dalam Tantangan Zaman

Sorry, this entry is only available in Indonesian. For the sake of viewer convenience, the content is shown below in the alternative language. You may click the link to switch the active language.

01_01

Masyarakat Betawi punya istilah tersendiri untuk menyebut pencak silat, yaitu “Maen Pukulan”. Disebut Maen Pukulan karena kegiatan ini menandakan ada unsur kesenangan lantaran semula memang hanya sebuah permainan (main, maen) dan bukan untuk menunjukkan kehebatan fisik atau sifat jago. Sedangkan kata “pukulan” lantaran gerakan dalam pencak silat ini didominasi pukulan tangan dan menabukan penggunaan kaki atau tendangan. Kalau toh ada tendangan hanya sebatas pusar ke bawah.

Maen Pukulan atau pencak silat khas Betawi, menjadi bagian terpenting dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi identitas ke-Betawi-an yang bersanding dengan kehidupan beragaman. Konon masyarakat Betawi itu identik dengan tiga karakter, yaitu maen pukulan, ngaji dan nembang (menyanyi, berkesenian). Jika salah satunya tak melekat kepada orang bersangkutan, maka bisa jadi kehidupannya hambar, lebih parah daripada sekadar makan tanpa garam.

Sejauhmana sejarah dan keberadaan Maen Pukulan di tanah Betawi selama ini, dijelaskan dengan gamblang dalam buku “Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi” karya G.J. Nawi, yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor Indonesia bekerjasama dengan O’ong Maryono Pencak Silat Award, Januari 2016. Dalam buku ini juga dijelaskan, bahwa maen pukulan itu bukan satu-satunya kata lain dari pencak silat, melainkan ada yang disebut Silat, Maen Akal, Maen Taplekan, Bhe Si, Gisauw, dan Kuntao/Kundao (hal 8). Keragaman masing-masing istilah ini sebetulnya menarik ditelisik untuk dapat memahami deskripsi pencak silat yang dimaksud dan asal muasalnya. Dengan memilih judul buku “Maen Pukulan” penulis nampaknya ingin menegaskan kekhasan pencak silat Betawi diantara berbagai seni pencak silat tradisional di berbagai daerah.

Sebagai orang yang bukan berasal dari dunia persilatan, terus terang saya terperangah, ternyata di Indonesia terdapat 600-800 aliran atau perguruan silat. Dan saya heran, bagaimana mungkin dari aliran sebanyak itu separuhnya berasal dari Jakarta? Pada mulanya hanya ada 4 (empat) aliran inti, yaitu: Gerak Cepat, Gerak Kuat, Gerak Teguh dan Gerak Rasa. Kemudian berkembang menjadi 100-200 aliran dan akhirnya berbiak menjadi 317 aliran maen pukulan. Data tersebut memang masih perlu dipertanyakan ulang, terutama konteks waktunya. Namun yang perlu dicermati adalah, masih adakah komunitas penyangga yang mampu menjaga kelestarian budaya maen pukulan ini, sementara etnis Betawi itu sendiri semakin tersisihkan dari megapolitan Jakarta?

Maen pukulan erat kaitannya dengan perkembangan kebudayaan Betawi dan eksistensi etnis Betawi, yang menurut beberapa catatan sejarawan merupakan kebudayaan yang paling belakangan terbentuk di Indonesia. Etnis Betawi terbentuk karena proses akulturasi beberapa kebudayaan dan peleburan (melting pot) berbagai kelompot etnis di Batavia. Berdasarkan argumen itu dapat dipastikan bahwa bentuk kongkret maen pukulan Betawi yang ada sekarang adalah hasil akulturasi dan asimilasi sejumlah ilmu beladiri tradisional etnis-etnis yang pernah mendiami Batavia (hal 17).

Buku yang hampir semuanya bersumber dari sejarah lisan ini dengan bagus merangkum hasil penelitian bertahun-tahun terhadap pencak silat khas Betawi yang fenomenal ini. Dan itu bukan pekerjaan mudah karena literatur pencak silat memang langka, sehingga bisa jadi buku ini hanya satu-satunya yang secara khusus dan utuh membahas pencak silat Betawi. Dengan demikian buku ini setidaknya mampu menyelamatkan sebuah budaya warisan leluhur yang nyaris tidak dikenali lagi karena penuturnya sendiri hampir punah.

Dari buku ini dapat diketahui bagaimana riwayat maen pukulan Betawi, ternyata embrionya bukan sebagai kegiatan ilmu beladiri murni melainkan lahir dari tradisi masyarakat yang mengutamakan pembinaan mental spiritual. Maen pukulan diciptakan sebagai penunjang kegiatan ritual tradisi, misalnya untuk mengungkapkan rasa syukur atas rejeki yang diterima maupun sebagai pengorbanan kepada Sang Pencipta ketika musim kemarau panjang melanda. Sebagai sarana ritual meminta hujan misalnya, leluhur orang Betawi punya tradisi memukul-mukul nekara berhiaskan patung kodok di atasnya sebagai genderang. Hal ini mengiringi permainan adu fisik yang intinya harus ada pengorbanan berupa darah yang tertumpah ke bumi. (hal 16)

Sholat dan silat telah dikenalkan pada anak-anak Betawi sejak dini, sehingga membentuk masyarakat Betawi menjadi suku bangsa yang sadar pentingnya menjaga keseimbangan fisik dan mental, hablum minannas atau membangun hubungan horisontal (silat) dan hablum minallah atau hubungan vertikal (sholat). Hal ini kemudian divisualkan dalam keseharian dalam bentuk busana baju tikim, celana pangsi, peci dan sarung yang disampirkan di pundak sebagai simbol silat dan sholat.

Hampir di setiap kampung dapat ditemukan maen pukulan, karena menjadi kewajiban orang Betawi untuk memakmurkan maen pukulan. Pada akhir tahun 1960-an hampir di setiap gang yang dipenuhi anak muda Betawi tampak rasa “kepemilikan” yang kuat terhadap maen pukulan. Mereka tahu betul karateristik maenan yang menjadi pembeda kampung satu dengan lainnya. Begitu memasyarakatnya maen pukulan di tanah Betawi sehingga ada yang menyebut sebagai “jajanan pasar” dan kemudian melahirkan cukup banyak maenan atau aliran (hal 20).

Demikian pula adanya sosok jago dalam budaya maen pukulan yang berbeda dengan pengertian jagoan. Seorang jago Betawi memiliki sifat-sifat luhur yaitu pantang berjudi, merampok, memperkosa, minum minuman keras atau melakukan perbuatan tercela lain. Sedangkan jagoan pengertiannya cenderung negatif, karena sebagai orang yang piawai beladiri namun lebih membela kepentingan pemerintah kolonial dan tuan tanah serta malah menindas rakyat. Para jago inilah yang dikemudian hari menjadi pelopor gerakan sosial melawan penjajah dan beberapa diantaranya mengobarkan pemberontakan. Sementara O’ong Maryono dalam bukunya “Pencak Silat Merentang Waktu” (hal 69) hanya menyebut kata “jago” tanpa membedakan dengan kata “jagoan”.

Pada masa kolonial Belanda maen pukulan dipelihara tapi hanya dipertunjukkan pada acara-acara profan seperti ulangtahun Ratu dan penyambutan tamu agung, atau juga menjadi ajang hiburan di arena pertunjukan pasar malam. Pemerintah kolonial perlu mewaspadai maen pukulan agar tidak dimanfaatkan untuk melakukan kekerasan dan pemberontakan.

Tetapi hal sebaliknya terjadi pada awal masa pendudukan Jepang, ilmu beladiri lokal dijadikan sarana propaganda guna membangun spirit perlawanan terhadap bangsa-bangsa Barat. Pada masa-masa akhir kekuasaan pemerintah Jepang, ilmu beladiri tradisional di berbagai daerah dihidupkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan Jepang dalam menghadapi Sekutu. Tanah Betawi atau Batavia yang diubah menjadi Jakarta, dijadikan pusat pelatihan ilmu bela diri tradisional yang ada di seluruh Indonesia (hal 49). Apakah faktor ini yang kemudian menjadikan Jakarta sebagai tempat subur ratusan aliran pencak silat?

Dan yang mengagumkan dari buku ini adalah mendeskripsikan satu persatu berbagai aliran maen pukulan di semua penjuru Betawi, mulai dari kawasan pesisir, Betawi tengah, Betawi pinggir yang sebagian sudah tidak lagi menjadi wilayah administratif DKI Jakarta. Memang tidak semuanya, namun sudah cukup representatif menggambarkan penyebarannya. Lebih lengkap lagi, buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto contoh jurus masing-masing aliran, deskripsi maen pukulan dalam kesenian rakyat Betawi, aksesori dan juga senjata khas maen pukulan.

Perubahan Menuju Kepunahan?
Deskripsi kata maen pukulan ini saja sebetulnya sudah menarik. Istilah maen pukulan ini tidak saya temukan dalam buku O’ong Maryono “Pencak Silat Merentang Waktu” melainkan hanya disebut Pencak Silat Betawi. Mengapa dalam maen pukulan lebih mementingkan aktivitas atau gerak tangan ketimbang gerak kaki? Disebut “gerak tangan” berarti memiliki makna aktivitas tubuh ketika kita sedang berdiam di suatu tempat. Sedangkan “gerak kaki” menyiratkan adanya suatu perpindahan posisi atau beralih tempat. Apakah hal ini memiliki makna tertentu terkait dengan budaya masyarakat Betawi itu sendiri? Apakah ini bermakna masyarakat Betawi lebih suka beraktivitas di tanah sendiri ketimbang menjadi perantau? Karena itu, ketika kemudian banyak perantau mendominasi tanah Betawi, maka warga Betawi menjadi terusik karena terpinggirkan.

Begitu pesatnya perkembangan Jakarta sebagai ibukota negara menyebabkan keberadaan etnis Betawi kian tersisih. Kebudayaan Betawi tidak dapat mengelak dari pengaruh budaya pendatang yang membawa maen pukulan ke arah kepunahan, khususnya pada tiga dasawarsa terakhir. Apalagi, derasnya arus media yang mempromosikan ilmu beladiri asing membuat maen pukulan semakin dilupakan. Banyak generasi muda Betawi yang acuh tak acuh terhadap tradisi dan budaya leluhur, termasuk maen pukulan. Padahal dulu ada dua hal yang wajib dilakukan anak-anak muda Betawi yaitu shalat dan silat. Kini nasib maen pukulan sebagai salah satu identitas kebetawian terus termarginalkan (hal 10).

Benarkah maen pukulan sedang menuju kepunahan? Buku ini tidak berusaha menjawabnya, karena memang cenderung merupakan karya antropologis yang hanya menyajikan deskripsi mengenai maen pukulan dalam konteks keberadaan budaya Betawi, dan bukan mengulas hasil temuan yang sudah dipaparkan secara lengkap itu. Hanya saja, apakah data-data berbagai aliran maen pukulan dalam buku ini memang masih ada ataukah yang pernah ada?

Lagi pula, kalau betul maen pukulan sekarang termarginalkan dan menuju kepunahan sebagaimana etnis Betawi, apakah layak kemudian menuding penyebabnya adalah budaya pendatang, anak muda, atau ilmu beladiri asing? Tudingan ini perlu diklarifikasi kembali, budaya pendatang mana yang dituduh mendesak itu? Bukankah pada dasarnya budaya Betawi itu sendiri adalah hasil akulturasi berbagai budaya dari luar sehingga membentuk etnis yang sama sekali baru? Mengapa sampai ada budaya luar yang mampu mendesak budaya Betawi? Demikian pula maen pukulan, karena kelenturannya seharusnya mampu menyerap pengaruh dari luar sehingga justru semakin memperkaya dan bukan menjadikannya terdesak hingga terpinggirkan. Dengan kata lain, kalau maen pukulan telah mampu menyerap pengaruh beladiri dari China lantas mengapa sekarang harus menjadi terdesak oleh beladiri pendatang dari Jepang misalnya (Karate, Yudo, Kempo dll).
Sebagai orang awam dalam persilatan, yang saya tahu bahwa pencak silat itu memiliki konsep catur tunggal, yaitu unsur beladiri, olahraga, seni budaya dan unsur mental spiritual. Pertanyaannya, apakah dalam prakteknya belakangan ini keempat elemen itu telah berjalan seiring? Karena itu, jangan-jangan klaim bahwa maen pukulan terpinggirkan (apalagi diambang kepunahan) itu hanya dari aspek seni dan mental spiritual saja. Sementara sebagai olahraga dan beladiri sudah tersalurkan melalui berbagai pertandingan yang diwadahi IPSI dengan naungan KONI.

Barangkali eksistensi maen pukulan ini masih mampu bertahan di arena festival-festival seni pencak silat non-pertandingan. Pencak silat sebagai seni pertunjukan memiliki keistimewaan tersendiri ketimbang silat sebagai olahraga beladiri yang cenderung hanya ditonton kalangan sendiri saja. Festival Seni Pencak Silat Indonesia yang diselenggarakan Asosiasi Perguruan Pencak Silat Budaya Indonesia (APPSBI) dan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) di Bandung (November 2012) misalnya, terbukti mampu menyedot perhatian banyak masyarakat.
Demikian pula pada bulan September 2015, Masyarakat Pencak Silat Indonesia (MASPI) menyelenggarakan Festival Pencak Silat Internasional di Bandung yang berhasil diikuti puluhan negara. Bahkan dalam sebuah even Festival Beladiri Dunia baru-baru ini (April 2016) di Purwakarta disajikan atraksi kolaborasi antara pendekar beladiri enam negara peserta dengan para penari sehingga menghasilkan tontonan yang mengagumkan. Festival ini dinilai mampu memadukan kultur beladiri dan hiburan untuk masyarakat. Sedangkan Gerakan Pemuda Ka’bah (GBK) konon sudah pernah menyelenggarakan Festival Seni Pencak Silat setiap tahun sejak 14 tahun yang lalu. Bulan Oktober nanti, Asosiasi Perguruan Pencak Silat Budaya Indonesia (APPSBI) menyelenggarakan Festival Pencak Silat Budaya di Taman Impian Jaya Ancol Jakarta.

Yang tidak kalah pentingnya, adalah faktor peranan pemerintah dalam pembinaan pencak silat itu sendiri. Jujur saja, sepanjang yang saya ketahui, kalangan pejabat negara ini hanya memandang pencak silat itu wilayahnya KONI, bukan urusan kebudayaan, sehingga yang seharusnya membina adalah Kementerian Olahraga, bukan institusi kebudayaan. Apakah urusan pencak silat memang tercatat dalam mata anggaran kebudayaan? Apakah ketiadaan UU Kebudayaan masih juga dijadikan alasan? Dalam even Festival Pencak Silat Budaya di Taman Impian Jaya Ancol, yang terpampang adalah logo Kemenpora dan Kementerian Pariwisata. Apakah Kemendikbud tidak berkepentingan dengan even ini? Bagaimana dengan jajaran birokrasi di tingkat provinsi, kabupaten dan kota?

Warisan Budaya Takbenda
Pencak Silat adalah asset budaya tradisi lisan lantaran kelahiran dan pewarisannya dilakukan melalui budaya tutur (lisan). Maka tak heran belakangan ini ada gerakan dari sejumlah kalangan untuk mencari pengakuan Pencak silat sebagai Warisan Budaya Takbenda (intangible heritage) dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco).

Apakah yang disebut warisan budaya takbenda? Menurut definisi yang ditetapkan Depdikbud, ”warisan budaya takbenda” meliputi segala praktek, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan -serta alat-alat, benda (alamiah), artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya- yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka. Warisan budaya takbenda ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa diciptakan kembali oleh berbagai komunitas dan kelompok sebagai tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksinya dengan alam, serta sejarahnya, dan memberikan mereka rasa jatidiri dan keberlanjutan, untuk memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan daya cipta insani.

Berangkat dari optimisme bahwa pencak silat merupakan warisan budaya bangsa yang sangat berharga itulah maka Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) zaman Menteri Roy Suryo menargetkan tahun 2014 pencak silat terdaftar di Unesco, karena pemerintah tak ingin olahraga beladiri asli warisan Indonesia ini diakui oleh negara lain. Jika pencak silat sudah terdaftar di Unesco, menurut Menpora Roy Suryo, akan membuat peluang pencak silat masuk ke Olimpiade, bukan hanya sebatas dipertandingkan dalam pesta olahraga antar-negara Asia Tenggara (SEA Games) seperti selama ini.

Sebelumnya, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Windu Nuryanti bulan Februari 2014 sudah mengklaim akan segera melakukan gerak cepat untuk bisa segera mendaftarkan pencak silat sebagai warisan budaya dunia ke Unesco. Tahun 2014 itu, katanya, Kemendikbud akan memulai proses pencatatan pertama, yakni pencak silat sebagai warisan takbenda tingkat nasional. Ini sangat penting, katanya, karena merupakan salah satu syarat untuk bisa diakui di tingkat dunia.

Niat baik Roy Suryo dan Windu yang berasal dari dua kementerian berbeda itu memang harus diapresiasi, tetapi barangkali musti dicermati lebih dulu posisi pencak silat sebagai warisan budaya takbenda selama ini. Pertanyaannya adalah, kalau memang betul ada keinginan kuat untuk mendaftarkan pencak silat ke Unesco, bagaimana sebetulnya posisi pencak silat di Indonesia?

Pemerintah Indonesia sudah membentuk Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia, yang pernah menetapkan 77 karya budaya yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2013. Enam di antaranya sudah ditetapkan lebih dulu sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO yaitu, Wayang, Keris, Batik, Angklung, Tari Saman, Noken, dan satu lagi menyusul tahun 2015 kemarin yaitu 9 Tari Bali, sehingga ada 7 karya budaya. Ternyata, dari 77 daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia itu sama sekali tidak disebut pencak silat.

Apakah selama ini pemerintah Indonesia memang belum mencatatkan pencak silat sebagai warisan budaya takbenda nasional? Menurut situs Registrasi Warisan Budaya Takbenda Nasional yang dikeluarkan Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah terdaftar sebanyak 2.649 warisan budaya takbenda. Jumlah ini tercatat sampai dengan tahun 2014, dan masih akan terus bertambah, lantaran terlalu sedikit untuk negara Indonesia yang kara raya potensi budayanya ini.

Dari jumlah 2.649 itu ternyata sudah ada beberapa terkait pencak silat. Pertama, “Pakaian Tradisional Pencak Silat” (Jawa Barat) sudah terdaftar di nomor 60 yang didaftarkan pada tanggal 2 Oktober 2009. Ke- 2 (dua), “Tari Pencak Silat” sudah didaftarkan oleh NTT pada tanggal 5 Oktober 2009 dan tercatat pada Nomor 638. Ke-3 (tiga), pada urutan ke 2.174 juga sudah tercatat “Silat” dari Kabupaten Muko-muko Bengkulu pada tanggal 22 Mei 2012. Ke-4 (empat), atas nama “Pencak Silat” terdaftar pada tanggal 15 Juni 2011 dari Kabupaten Karawang dalam nomor 2.279. Ke-5 (lima), pada nomor 2.280, Kabupaten Cianjur mengajukan pada tanggal 19 September 2012 dengan nama “Pencak Silat Cikalong”. Dan kel-5 (lima) item terkait silat dalam 2.649 item itu baru berstatus “terdaftar” di Depdikbud, belum diakui secara nasional.

Pada tahun 2014, pemerintah melalui Tim Seleksi Warisan Budaya Tak Benda Nasional mengundang perwakilan masing-masing daerah untuk mengusulkan potensi budaya daerah untuk ditetapkan menjadi WBTB Nasional. Dari sekian banyak usulan tersebut akhirnya yang berhasil ditetapkan menjadi WBTB Nasional sebanyak 89 WBTB, ditambah 7 (tujuh) warisan budaya yang dikatagorikan sebagai Warisan Budaya Bersama. Artinya, ketujuh warisan ini terdapat di dua atau lebih provinsi sekaligus. Dari 89 WBTB tersebut, terdapat Silek Minang (Sumbar) dan Pencak Silat Bandrong (Banten) yang diakui sebagai WBTB Nasional dalam katagori Seni Tradisi.

Prosedur yang sama juga dilakukan pada tahun 2015 yang akhirnya menetapkan 121 karya budaya dari seluruh Indonesia. Kali ini tidak ada kriteria “Warisan Budaya Bersama” karena penetapan dilakukan berdasarkan daerah yang mengusulkannya. Bisa jadi sebuah warisan budaya yang terdapat di beberapa daerah sekaligus, akan ditetapkan berdasarkan daerah mana yang mengusulkannya, namun tidak menutup kesempatan daerah lain mengusulkan materi yang sama dengan nama tambahan daerah yang bersangkutan. Dari warisan budaya sebanyak itu, ada seni pertunjukan mirip silat dari Sumbar, namanya Ulu Ambek, yang di dalamnya terdapat adegan pertarungan. Sementara DKI Jakarta berhasil mencatatkan Silat Beksi dan Palang Pintu dari 5 (lima) warisan budaya yang ditetapkan secara nasional.

Lantas, yang perlu diingat, bahwa penetapan WBTB itu masih hanya sebatas penetapan politis dari pemerintah. Demikian pula penetapan yang serupa dari Unesco. Yang jauh lebih penting dari hal itu adalah apa yang dilakukan pasca penetapan tersebut. Dan itu tugas pemerintah beserta semua pemangku kepentingan yang terkait. Sekadar kroscek saja, apakah yang telah dilakukan atau setidaknya sudah direncanakan oleh Pemda DKI Jakarta terkait dengan penetapan Silat Beksi yang telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Nasional?

Catatan Penutup
Kalau toh pencak silat sudah eksis sebagai olahraga beladiri, itu prestasi yang memang patut disyukuri dan harus terus diperjuangkan sampai diakui di forum olahraga tingkat dunia. Namun dalam satu ayunan yang sama, pencak silat sebagai potensi seni budaya jangan dikesampingkan begitu saja. Jangan sampai kemajuan olahraga beladiri itu malah menyisihkan dan bahkan menghilangkan pencak silat sebagai kesenian dan sarana pembinaan mental spiritual. Keberhasilan pencak silat sebagai olahraga beladiri jangan malah menjadikan pencak silat tercerabut dari akar budayanya sendiri.

Kalau anak-anak muda dituduh tidak meminati pencak silat dibanding seni beladiri dari luar, itu karena pencak silat dinilai kurang keren dibanding karate, yudo, kempo, jiu jit su dan sebagainya. Tetapi ada kelebihan tersendiri dalam olahraga beladiri pencak silat, yaitu iringan musiknya. Tetapi sayang seribu kali sayang, justru keberadaan musik iringan ini malah dihilangkan atas nama penyeragaman sehingga pencak silat menjadi tidak unik lagi. Mengapa harus ada penyeragaman dalam pertandingan pencak silat dengan olahraga beladiri lainnya?

Demikian pula halnya pencak silat sebagai seni tari atau pertunjukan? Sudah ada beberapa tari tradisi yang berbasis pencak silat, demikian pula koreografi kontemporer yang menjadikan pencak silat sebagai basis produksinya. Tetapi seni pencak silat itu sendiri, bukan sebatas seni tari, adalah sebuah potensi yang layak digarap serius dengan profesional, musti dikreasi sedemikian rupa sehingga dapat menarik minat anak-anak muda, dapat dipertontonkan di gedung-gedung megah agar menyingkirkan anggapan sebagai seni pertunjukan tepi sungai. Busana pencak silat tidak musti terkesan kumuh dan itu-itu saja, banyak desainer yang sanggup mengkreasikannya. Demikian pula musik serta propertinya. Bahkan juga, koreografinya. Nah, bukankah ini sebuah peluang ekonomi kreatif yang sangat menjanjikan?
Sebagaimana dikatakan ketua MASPI, Asep, bahwa pesilat wajib melakukan pewarisan nilai, revitalisasi dan inovasi. Para pesilat tidak boleh miskin ide sehingga pencak silat menjadi dinamis, tidak monoton dan dapat menarik minat berbagai kalangan. Satu hal penting yang dikatakan Asep, “para tokoh telah melakukan pewarisan nilai budaya, tugas kita sekarang adalah melestarikan dan mengembangkan warisan mereka. Salah satunya dengan mengemas silat tradisi lewat seni pertunjukan.”

Dalam dunia yang serba global ini, justru seni budayalah yang masih sanggup bersaing diantara berbagai bangsa. Dalam skala internasional, kita seringkali kalah dalam prestasi olahraga, kalah dalam percaturan politik, tersingkir dalam persaingan ekonomi, kalah dalam kemiliteran, bahkan juga tersungkur dalam persaingan prestasi dunia pendidikan. Tetapi dalam dunia seni budaya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat sangat kaya raya memiliki potensi seni budaya yang sanggup membuat iri bangsa-bangsa lain. Dan pencak silat khas Betawi, Maen Pukulan, adalah bagian dari kekayaan yang membanggakan tersebut. Apakah kita lantas acuh tak acuh dengan kelebihan ini? Atau menunggu negara lain mengklaim, mengakui sebagai miliknya dan lebih memperhatikan serta memberdayakannya?
Lagi-lagi terpaksa kita juga harus bertanya kepada pemerintah, apakah masih saja mengutamakan penghargaan terhadap olahraga ketimbang kesenian? Olahraga apa sih yang Indonesia menang di tingkat dunia? Masa keemasan bulutangkis zaman Rudi Hartono sudah lama berlalu. Jangan berharap pada sepakbola, yang untuk bisa masuk Piala Dunia saja kalah dengan negara-negara kecil di Afrika dan negara pulau di lautan Pasifik. Pemerintah memberikan bonus luar biasa besarnya terhadap atlet yang menang pertandingan olahraga, tetapi bagaimana penghargaan terhadap prestasi kesenian di dunia internasional yang sudah mengharumkan nama bangsa dan negara? Saya tidak akan cerita panjang lebar soal ini di sini.

Demikian pula pencak silat sebagai sarana pembinaan mental spiritual. Seharusnya pencak silat sudah menyatu dalam dunia pendidikan kita agar anak-anak pelajar mendapatkan wahana pendidikan karakter melalui pencak silat. Keberadaan pencak silat di sekolah-sekolah yang sudah ada selama ini, sangat disayangkan kalau hanya menjadi salah satu kegiatan ekstra kurikuler (ekskul) sebagaimana cabang kesenian atau olahraga biasa. Bukankah kita semua mengakui bahwa dalam pecak silat terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur yang sangat layak dijadikan landasan dalam pendidikan karakter bangsa? Bagaimana kita menginternalisasi nilai-nilai luhur dalam pencak silat ini demi kemaslahatan masyarakat luas? Kalau pemerintah sekarang meneriakkan semboyan Revolusi Mental, maka pencak silat adalah salah satu jawabannya.

Last but not least, tanpa bermaksud menggurui, Catur Gatra dalam pencak silat harus terus menerus diresapi, bahwa pencak silat itu adalah kesatuan dari empat aspek, yaitu; Olahraga, beladiri, kesenian dan pembinaan mental spiritual. Bahkan, sebetulnya aspek mental spiritual itu harus berada di urutan pertama dan menjadi yang utama, sebagaimana dilambangkan pegangan senjata trisula dalam lambang IPSI dan menjadi embrio kelahiran maen pukulan atau pencak silat secara umum. Tidak boleh lagi ada kejadian tawuran antar-perguruan silat lantaran jago memang beda dengan jagoan. Saya bayangkan, pendekar silat sejati adalah manusia yang rendah diri, gaya bicaranya lembut, tidak pernah marah, dan sangat bijak perilakunya.

Mudah-mudahan dengan publikasi berupa penerbitan buku “Maen Pukulan” ini dapat memberikan pencerahan, bahwa kita belum terlambat untuk menyelamatkan kekayaan budaya bangsa sendiri. Ibarat kekayaan tambang yang luar biasa di tanah Papua, apakah kita rela suatu ketika ada “Freeport Budaya” yang akan mencengkeram negeri ini? Naudzubillah min dzalik. (*)

Catatan:

  • Artikel ini disampaikan sebagai makalah dalam Diskusi Buku “Maen Pukulan. Pencak Silat Khas Betawi” oleh GJ Nawi di Plaza Gedung A Lantai Dasar Kemendikbud RI, Senayan Jakarta, tanggal 26 Juli 2016.
  • Henri Nurcahyo, lahir di Lamongan 22 Januari 1959, tinggal di Bungurasih Sidoarjo, tapal batas kota Surabaya, otodidak dalam seni budaya. Pernah menjadi wartawan dan menerbitkan beberapa media massa, 10 kali juara lomba karya tulis, menulis banyak artikel dan menerbitkan sekitar 40 buku berbagai topik, mendapatkan Penghargaan Gubernur Jatim sebagai Penggerak Kesenian. Terakhir aktif di Dewan Kesenian Sidoarjo (Ketua I), Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jatim (plh Ketua) dan menginisiasi Pusat Konservasi Budaya Panji.
  • Kontak: henrinurcahyo@gmail.com, henrinurcahyo.wordpress.com, mobile: 0812 3100 832.