Kapal selalu berada dalam perjalanan, bukan teronggok di pelabuhan. Siapa pun yang berlayar tahu tentang itu. Kehidupan harus terus berjalan meski langkah Rosalia Sciortino-Sumaryono (57) sempat ditahan kedukaan.
Jarum jam menunjukkan pukul 19.30 ketika pakar antropologi budaya dan sosiologi pembangunan itu bersiap pulang. Jarak dari kantor SEA Junction di Bangkok Art and Cultural Centre (BACC) ke rumahnya yang tidak lebih dari 20 kilometer tetap bisa menyita lebih dari satu jam kalau macet.
“Begini kegiatan saya sekarang, selain mengajar,” ujar Lia, begitu dia disapa.
Rosalia telah menyelesaikan tugasnya sebagai Direktur Regional Pusat Riset Pembangunan Internasional (IDRC) untuk Asia Tenggara dan Asia Timur di Singapura tahun 2014 dan serangkaian tugasnya di lembaga-lembaga internasional. Ia pernah menjadi Direktur Regional The Rockefeller Foundation (2004-2007) untuk program-program pengentasan rakyat dari kemiskinan, jender, kesehatan, lingkungan dan kebudayaan, pengembangan kapasitas, riset, beasiswa, serta intervensi kebijakan.
SEA Junction adalah “anak kedua” yang dilahirkan Rosalia pada pertengahan 2016 setelah O’ong Maryono Pencak Silat Award, tiga tahun sebelumnya. Award tahunan itu didedikasikan untuk memperingati meninggalnya sang suami, O’ong Sumaryono. O’ong, juara berbagai kompetisi pencak silat dunia dan pelatih internasional, meninggal di Singapura pada 20 Maret 2013.
“Award itu juga menghasilkan buku untuk memperkaya referensi pencak silat yang ditulis murid-murid Mas Ong.”
Rosalia adalah salah satu sosok penting yang membawa isu kesehatan reproduksi perempuan menjadi arus besar isu perempuan di Indonesia sejak tahun 1990-an ketika dia bekerja di Ford Foundation Jakarta.
Lia “mengepung” isu kesehatan reproduksi dari segenap penjuru dan mendobrak sekat-sekat hubungan antarmanusia. Dia bekerja lintas bidang dan membangun sistem agar pegiat isu terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan bekerja sama dan berjaringan. Dengan caranya, Lia mendukung upaya pendidikan lanjut para aktivis agar memiliki basis akademik yang lebih kuat.
Kini, murid-muridnya mengenal Lia sebagai dosen favorit. “Ajaran mengajari bagaimana melakukan presentasi menarik dan membuat saya lebih percaya diri,” ujar Mohammad Ainul Ma’ruf saat perpisahan dengan relawan SEA Junction. Dia menyelesaikan studi lanjutannya pada Institute for Population and Social Research (IPSR), Universitas Mahidol, Bangkok.
Gagasan bersama
Gagasan SEA Junction sudah terbetik sejak Ong masih bugar. Mereka ingin membuat wadah untuk memajukan pemahaman dan apresiasi terkait dengan realitas dan dimensi sosial-budaya Asia Tenggara yang beragam. “Hanya bentuknya masih belum jelas,” ujarnya.
Namun, gagasan itu tertunda diwujudkan karena Ong sakit dan butuh perawatan intensif. “Saya berterima kasih sekali kepada teman-teman yang mendampingi saya pada masa-masa sulit di Singapura dan Indonesia, khususnya kepada Bianti Djiwandono,” kenangnya. Bianti adalah koleganya saat bekerja di Ford Foundation Jakarta.
Kepergian sang suami karena kanker, setelah hampir 25 tahun bersama, adalah pukulan berat bagi Lia. Di apartemennya di kawasan Ekamai, Bangkok, Thailand, foto Ong menghuni tiap sudut. Kalau kebetulan bertugas ke Jakarta, setiap hari dia nyekar ke makam suaminya.
Lia mengenal Ong lebih dekat tahun 1989 saat Ong bermain film Tutur Tinular, dan Lia berada di Yogyakarta, melanjutkan penelitian untuk disertasi PhD. Mahasiswa post-graduate dari Jurusan Antropologi Budaya dan Sosiologi Pembangunan Free University Amsterdam itu adalah anak kedua dari lima bersaudara pasangan Carolina Gugino dan pengacara Salvatore Alfredo Sciortino.
Swadana
SEA Junction menyediakan akses publik pada sumber informasi dan berbagai kegiatan yang melibatkan mahasiswa, pakar, intelektual, seniman, serta peminat dan pencinta Asia Tenggara. Semua kegiatan berkolaborasi dengan organisasi terkait untuk isu-isu tertentu dan BACC.
Yang menarik, pendanaan SEA Junction tidak bersandar pada donor, tetapi pada 20 mitra pendiri individu, aktivis dan pakar dari Indonesia, Thailand, Italia, serta pakar Asia dari sejumlah negara yang bermukim di Thailand dan Indonesia. “Kecil-kecil, tetapi ada komitmen. Sistemnya dikuatkan.”
Sejak diresmikan 25 Juni 2016, meski aktivitas berlangsung sejak 15 Mei 2016, SEA Junction tak pernah sepi. “Kami membatasi tiga events sebulan agar kegiatan harian tidak terganggu,” ujar Lia.
Setiap hari pukul 10.00-20.00, kecuali hari Minggu, SEA Junction dibuka untuk yang meminati aspek kehidupan di Asia Tenggara. Mereka singgah, membaca buku dari perpustakaan, berdiskusi sambil minum kopi, dan mencari informasi atau menawari kolaborasi berbagai kegiatan.
“Kami membangun jaringan melalui kegiatan ini,” kata Lia.
Bersama Yanin Wongmai (27), Community Outreach Officer, yang fasih berbahasa Indonesia, Melayu, Inggris selain Thai, Lia memberi penjelasan tentang SEA Junction kepada pengunjung.
Terkait 50 tahun ASEAN, menurut Lia, salah satu karakteristik utama integrasi regional adalah pergerakan manusia, tak hanya turis, mahasiswa, pasien, tetapi juga tenaga kerja dan pengungsi yang dihalangi dan dieks-ploitasi. “Untuk isu ini, kami bekerja sama dengan Heinrich Böll Foundation,” ujarnya.
Isu itu telah dimulai tahun lalu dengan diskusi dan pameran foto John Hulme, Beyond Tolerance: Living Together with Migrants, suatu dokumentasi kelompok rentan di wilayah tersebut. Dalam kegiatan itu, SEA Junction berkolaborasi dengan Mekong Migration Network Foundation.
“Topik lainnya adalah soal padi dan beras,” kata Lia, “Isu itu tak bisa dilepaskan dari perbincangan soal Asia Tenggara, tak hanya dari aspek pertanian dan makanan pokok, tetapi juga aspek seni dan spiritual. Saya memasukkan analisis relasi kuasa dan isu kesehatan reproduksi perempuan pada semua isu.”
Semua kegiatan itu membuat kesedihannya karena kepergian suaminya dapat dilunakkan. “Jadi, seperti survival mode, ya,” ujarnya tersenyum tipis.
Meski demikian, dia meyakini, hari ini adalah karunia, ‘the present‘. Yang dianggap sebagai akhir adalah awal yang baru karena semua yang berawal ada akhirnya. Dengan itu, Lia memelihara kedamaian hatinya.